17. Komitmen

28 4 0
                                    

Sudah waktunya makan malam. Di kediaman keluarga Wira, sudah ada lauk pauk beserta pelengkapnya di atas meja makan. Tampak Risa memberikan ayam bakar kepada sang suami. Kemudian muncul Joan yang baru keluar dari kamarnyya. "Asik ayam bakar!" kata Joan melihat makanan kesukaannya.

"Eit! Panggil dulu adik, baru kita makan baremg," pinta Bagus yang menghalangi tangan Joan. Si sulung akhirnya pergi ke kamar. Mengetuk pintu dua kali sambil memanggil adiknya makan. Setelah Nara dan Tata keluar mereka kembali ke meja makan. "Ayo berdoa dulu!" kata Risa lalu mereka mulai melipat tangan.

"Selamat makan," ucap Joan mengambil ayam bagian paha dengan semangat.

__

Nara menaruh piring kotor di wastafel dibantu Tata. Ketika semuanya selesai ia cuci, keduanya melangkah menuju Joan dan kedua orang tuanya berkumpul. "Nara mau nunnjukin sesuatu." Mereka sontak menautkan alias binngung melihat Nara yang baru duduk langsung berdiri dan berjalan menuju kamar.

Selang beberapa menit kemudian Nara kembali dengan surat yang dibawanya dari sekolah. "Itu apa, Nar?" tanya Bagus.

Nara menyerahkan surat untuk di baca. "Nara akan tanda tangan kon--"

"Nara menang!" pekik Joan membuat Risa langsung tersedak air putih. Matanya menyorot tanya pada suaminya. "Menang omba cerpennya, Ma. Selamat ya, Ra, papa bangga sama kamu," tuturnya tulus. Rasa bangganya sangat luar biasa melihat kedua anaaknya yang sangat berbakat itu. Semua rasa lelah dan penatnya bekerja seakan sirna dengan hanya mendengar anaknya berhasil dan mau serius belajar. "Walaupun papa bukan pengusaha kaya raya, tapi dengar kalian juara dan belajar dengan giat saja sudah cukup menjadi hal yang paling papa banggakan sampai sekarang."

Nara tersenyum haru. Beruntung mempunyai papa yang sangat sayang dengan keluarga dan mendukung apa yang anaknya inginkan. "Nara belum lomba. Main potong aja," dumelnya pada Joan.

"Lah terus?"

"Cerita Nara mau terbit."

"Uhuk—serius woi?" Tata tersedak. Mereka semua yang berkumpul menampilkan muka terkejutnya.

"Mama cuman izinin kamu buat lomba Nara. Bukan nerbitin novel," tutur mama Risa.

Papa Bagas yang mendengar itu berdehem. Ia tahu istrina paling sensitif kalau mendengar bahasan seperti ini Ketakutan terbesar Risa terwujud sekarang. Nara menjadi penulis yang sudah menerbitkan karya. Papa Bagas lantas menepuk punggung istrinya pelan.

Demi kebahagiaan putrinya.

"Ma, ijinkan Nara. Dia sudah berjuang sejauh ini dan membuktikan sama kamu. Kamu juga sudah berkomitmen membiarkan Nara mengikuti lomba. Ini takdir anak kita. Nara pasti baik-baik aja," lontar Papa. Risa menatap anaknya.

"Pa—"

"Setiap anak punya jalan suksesnya masing-masing." Mama Risa terdiam mendengar ucapan suaminya. Apa memang selama ini semua hanya ketakutannya? Benarkah ini sudah garisan Yang Maha Kuasa agar Nara menjadi seorang penulis? Mama Risa menunduk. Sepertinya dia memang sudah tenggelam dalam ketakutannya sampai menghalang-halangi Nara.

"Maafin mama." Nara tertegun. Ini bukan mimpikan?

"Maaf karna mama melarang kamu bertahun-tahun. Mama bangga sama kamu, Nak. Maafin mama selama ini udah egois dan memandang hobi kamu dari satu sudut pandang. Mama salah. Mama terlalu jatuh sama rasa takut."

Setetes cairan bening meluncur dari pelupuk matanya. Akhirnya, masa-masa yang selalu dia harapkan telah terjadi. Di mana mama Risa member restu dan tidak menentang dunia keduanya itu. "Mama ...." Nara berdiri dan memeluk mamanya. Rasa bahagia sangat mendominasi dirinya. Mama pun membalass pelukan Nara. Tiga orang yang tersenyum bahagia iu menjadi saksi, betapa sulitnya oerjuangan Nara selama ini.

BANTARA (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang