23. First and Last

45 4 0
                                    

Nara terbangun dengan kepala yang terasa dihantam pusing. Iya, semalam Nara menjawab pertanyaan Bara sebelum memutuskan kabur secepat kilat. Ia menyingkirkan selimut dan duduk sambil menguap lebar. Dirinya masih mengantuk, karna semalam asik menyesali mulutnya yang susah direm.

"Jam 05.40 masih lama."

Ia meraih ponsel di atas nakas yang tersambung kabel pengisi daya dan mencabutnya. Saat layar ponsel menyala, Nara langsung disambut dengan notifikasi daari Bara yang muncul saaat data seluler dinyalakan. Nara mengulum bibirnya. Ternyata memang bukan mimpi, lelaki itu bahkan mengiriminya kalimat-kalimat manis sekarang.

(Pagiiiiii, gue yakin belum bangun. Nanti gue tunggu di kelas, soalnya si Bima nebeng. Have a nice day pacar.)

"Kok gue geli?" Nara mengusap tengkuknya ngeri saat Bara mengatakan pacar. Nara melirik jam lagi. Ia tidak berniat membalas pesan Bara dan lebih memilih bersiap-siap.

***

Bima berdiri tepat di depan Devi yang sudah lebih dulu datang. Sesuai perbincangan semalam, Bima akan meluruskan akar permasalahan mereka. "Udah nunggu lama?"

"Belum," jawab Devi. Gadis itu tahu, Bima tidak mungkin menghubunginya tanpa alasan.

"Jadi?" Bima melirik Devi yang tampak lebih santai dari dia. Bima menggaruk kepalanya lalu duduk di kursi taman diikuti oleh Devi.

"Gue mau ngomong soal Lo sama--

"Mela?" terka Devi.

Bima mengangguk pelan dan melipat kedua tangannya. Tampak ragu, Devi tau itu. Mata Bima yang sendu, cukup membuatnya paham posisi dirinya saat ini. Devi menengadah ke atas. Ini juga berat untuknya, menyukai seseorang yang menyukai sahabatnya.

"Gue suka sama lo," jujur Devi sambil melihat Bima di sampingnya.

"Gue tau."

"Dari Mela?" Bima mengangguk lagi.
"Dev, gue rasa lo salah paham. Mungkin emang guenya yang kurang ajar selalu gangguin lo. Tapi gue jujur, gue ngelihat dan nganggep lo sebagai teman gue. Sama kayak gue ke Nara atau Lita," tutur Bima pelan.

Dalam hati Devi meringis. Selama ini memang dia tahu kalau Bima sangat akrab dengan semua orang. Dan dengan bodohnya dia mengabaikan fakta memang seperti itu dan menganggap Bima memiliki ketertarikan padanya.

"Gue minta maaf atas perlakuan gue. Lo bisa pukul gue, tendang gue, jambak atau apapun buat lampiasin semua kecewa lo," lanjut Bima.

Bima melihat Devi yang menunduk. Dia sudah membuat Devi salah paham atas sifatnya, juga mengecewakan gadis itu. Lebih-lebih lagi dia adalah Devi, sahabat Mela.

Terkutuklah dirinya yang menyebabkan kekacauan ini.

"Thanks."

"Hah?" Bima membeo.

Devi mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil. "Lo suka sama Mela, kan?"

"Iya," jawab Bima mantap.

Devi menepuk bahu kanan Bima dan menatapnya dengan tatapan yang membingungkan. "Jangan kecewain Mela. Lo tau dia anaknya terlalu mementingkan orang lain. Jaga dia, itu aja keinginan gue."

"Lo ikhlas?"

"Iya, tapi lo serius sama Mela, kan?" Bima mengangguk tegas. "Gue suka sama dia. Cuman gue tau dia gak suka sama gue lagi."

"Siapa bilang enggak? Gue sahabatnya. Gue tau yang dia suka dan tidak. Walau akhir-akhir ini gue sama dia terlibat masalah, gue tau kok dia suka sama lo."

"Perjuangin Mela. Mengingat gue orang baik, cantik, dan tidak sombong, gue ikhlasin lo sama Mela. Karna setelah gue pikir-pikir kemarin, gue cuman tertarik, sekadar suka lihat. Dan gue yakin bisa move on dari jenis makhluk kayak lo."

Bima menatap Devi tak percaya. Antara kaget dan kesal mendengar penuturan Devi yang mengatainya. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum sambil menunjukkan ponselnya yang sedang melakukan panggilan suara. "Lo dengerkan, Mel? Sekarang gak ada alasan lagi buat lo nolak Bima demi gue."

"Lo? Sumpah?" Devi tertawa melihat ekspresi Bima dengan mulut yang terbuka.

"Lo kira gue bisa berantem lama sama Mela? Congrast, Bim. Ini terakhir kalinya gue mau bantu."

***

Bara menatap Nara yang mengalihkan pandangannya. Demi apapun, melihat Nara yang gugup adalah hal yang paling dia sukai. Semalam, dia merasa seperti orang yang paling beruntung di dunia.

Bisa bersama dengan Nara, walaupun gadis itu meninggalkannya semalam. "Pacar ...," panggil Bara. Nara memelotot saat suara Bara yang terlalu kencang saat memanggilnya. Belum lagi nada suaranya yang dibuat manja-manja. Nara ingin lenyap rasanya.

Bukan malu mengakui dia menerima Bara, cuman masalahnya ada Lita, Altair, Delon, dan Arelia di dekat mereka. "Lo berdua pacaran?" tanya Lita yang diangguki Bara.

"GILA GERCEP LO, BAR," ujar Altair dengan menggebrak meja. Padahal baru semalam Bima yang sedih, ini Bara main salip aja langsung pacaran.

Arelia memberi selamat pada keduanya. Turut bahagia karna Nara dan Bara bisa bareng-bareng."Sejak kapan?" tanyanya.

Nara terkekeh canggung. "Semalam."

"W, O, W, first day. Masih anget-angetnya," sahut Altair.

"Gila, gue sahabat lo ya, Nar,"

"Gue lupa," bisik Nara saat Lita mulai memasang wajah tak terimanya. Selama bersama Lita, Nara sudah paham kalau gadis itu harus menjadi orang yang pertama untuk tahu rahasia atau kabar-kabar dari Nara.

Pernah sekali Nara lupa memberi tahu Lita kalau dia pergi pulang kampung. Dan ketika pulang, Lita menyemprotnya dengan berbagai pertanyaan serta ungkapan tak terimanya.

Saat Altair sibuk merecoki Bara yang sudah punya pacar. Di situlah Delon tersenyum kecil. Tangannya terulur untuk menjabat Nara. "Langgeng-langgeng."

"Thanks." Bukan Nara, tapi Bara. Dia menyerobot tangan Nara yang hendak membalas jabatan itu. Sedangkan Lita yang melihatnya langsung nyinyir. Masih tidak terima karna bukan jadi orang pertama yang tahu dan geli sendiri melihat Bara yang cemburu kalau Nara hendak berjabat.

"Cepetan nyusul gue," kata Bara pada Delon.

"Gak ada calon."

"Itu samping lo nungguin," celetuk Nara yang membuat Arelia tersedak waktu minum.

Arelia meletakkan minumnya lalu melirik semua orang di situ. "Kenapa lihatin gue gitu?"

"Itu, samping lo nyari gandengan. Gas atuh," kata Altair dengan muka jahilnya.

Dari samping, Delon ikut mengamati Arelia yang tampak gugup. Mengingat beberapa waktu lalu Arelia menjauh dan itu membuatnya kepikiran.

"G-gue gak mau." Jawaban Arelia membuat sudut bibir Delon tertarik sebelah. "Yakin?"

Arelia menatap Delon yang seperti menantangnya. Ia mengingat kejadian dan omongan Delon waktu itu. "Iyalah. Kenapa, sih?"

"Setelah hari itu, Lo yakin masih mau jauh dari gue?"

"Heh, Lo berdua ngapain kemaren-kemaren?"

TBC.



BANTARA (NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang