Seorang dengan jaket bomber hitam membalut seragam tengah terduduk di sudut lapangan. Sudut lapangan basket itu teduh, pun sedikit tertutup dengan sebuah pohon.
Tatapannya dingin dan kosong. Pikirannya berkelana.
"Lihat Bara gak, Lon? Gue cari-cari dari tadi gak ada. Padahal udah ditungguin bu Susi,"
Delon terkekeh sejenak. "Bisa-bisanya lo masih nyari dia."
Delon ingat jelas malam itu. Malam dimana dia melihat rasa kecewa dan ketidak-bersalahan dua orang. Saat itu, Delon hanya bisa diam. Tidak bisa buka mulut, bahkan merangkul orang itu. Setitik penyelesan sebenernya terus hinggap di benaknya, tapi dulu dia tidak bisa apa-apa.
Langkah kakinya saat itu, menentukan nasib orang yang dia jaga dari jarak terjauh.
"Permisi." Pandangan Delon beralih pada sosok perempuan paruh baya yang menghampirinya.
Kelihatannya seperti sedang bingung. "Iya, Bu. Ada apa?"
"Ruang guru ada dimana, ya? Saya bingung yang mana," ujar ibu itu pada Delon.
Delon tidak segera menjawab. Dia malah mengamati sosok ibu di hadapannya. Wajahnya tidak asing, seperti perna lihat tapi entah dimana.
Ibu di hadapan Delon mengernyit bingung saat tak ada respon untuknya. Tangannya terulur melambai di depan Delon dua kali. "Nak?"
"Mari saya antar," jawab Delon saat tersadar.
Delon pun berjalan bersama ibu itu sambil terus mencoba mengingat wajah ibu itu yang tidak asing. Dirinya yakin pernah bertemu sebelum ini, tapi tempatnya tidak tahu pasti. Lama bermenung hingga tak terasa kakinya telah berhenti di depan ruang guru.
Ibu itu mengucapkan terimakasih lalu meninggalkan Delon masuk ke dalam.
"Halo, Del."
Delon berbalik saat mendengar panggilan itu. Bukan berbalik pada orang yang memanggilnya. Melainkan berbalik arah agar tidak bertemu orang yang memanggilnya.
"Ih, Delon tungguin aku!" Orang itu adalah Arelia.
Anak IPA yang sudah setahun lebih mengejar-ngejar Delon. Anaknya sangat aneh menurut Delon. Mudah marah namun, akan cepat membaik.
Buktinya seperti sekarang. Terakhir Delon mengucapkan kata-kata yang cukup kasar pada Arelia, tapi gadis itu hanya menjauhinya sehari. Sekarang sudah kembali lagi.
"Jangan ganggu gue," titah Delon saat Arelia mencoba mengait tangannya.
Arelia cemberut tapi tak urung memeluk lengan Delon. Walaupun Delon sudah sering menolaknya mentah-mentah, tapi Arelia yakin Delon bisa luluh. Seperti kebanyakan pengalaman orang-orang, Arelia yakin bisa meluluhkan balok es di sampingnya ini.
Walaupun sering sakit hati.
"Delon udah makan?"
"Hm."
"Arelia belum makan, temenin yuk!"
"Gue gak mau." Delon melepaskan tangan Arelia yang mengapit tangannya. Dia berjalan lebih dulu meninggalkan Arelia.
Delon tidak ingin terlibat percakapan lebih lama dengan Arelia. Gadis itu sering membuatnya kesal dengan segala tingkahnya. Terlebih kalau sudah mengikutinya kemana pun.***
"Nara sudah?"
"Sudah, Bu. Ini." Nara menyerahkan buku pada bu Susi. Selepas menemui Bara, mereka langsung belajar di perpustakaan bersama bu Susi. Belakangan ini mereka semakin sering latihan. Dikarenakan tanggal lomba juga sudah mulai dekat. Tidak ada waktu untuk bermain-main jika ingin mendapatkan hasil terbaik.
Bu Susi tersenyum dan mengembalikan buku Nara. "Sudah bagus. Besok kita lanjutkan lagi, ya. Bara bagimana?"
Bara mendongak dan memberikan jempolnya pada bu Susi.
"Kalau begitu kita lanjutkan saja besok. Sekarang kalau mau kembali ke kelas boleh. Atau kalau masih di sini juga gak apa. Ibu tinggal dulu, ya."
"Baik, Bu," sahut Nara dan bu Susi pergi meninggalkan mereka berdua.
Nara menutup buku-bukunya diikuti Bara. Setelah dari taman tadi, tidak ada dari mereka yang mencoba membuka obrolan. Nara juga tidak ambil pusing, saat ini dia ingin fokus pada perlombaan dari pada terlibat urusan lain yang akan membuatnya kepikiran.
Di sisi lain, Bara menatap malas buku di hadapannya. Sebenarnya selama satu jam, tidak ada kalimat yang dia baca. Dia hanya menatap tanpa minat buku itu. Dirinya terlalu mengantuk untuk mengingat dan memahami saat ini. Saat Nara berdiri, dirinya ikut berdiri.
"Gue duluan."
Bara mengangguk sambil menguap. Kakinya akan melangkah menyusul Nara yang sudah pergi tadi. Tapi terhenti karna sebuah kertas yang ada di lantai.
Karna penasaran, Bara mengambil kertas yang ternyata adalah foto itu. "Punya Nara?" kata Bara saat terdapat tulisan nama Nara di sudut kertas foto itu.
"Panggilan untuk Nara Wira Atania dari 11 IPS 2. Sekali lagi, panggilan untuk Nara Wira Atania dari kelas 11 IPS 2 ke ruang guru. Terimakasih."
Panggilan dari speaker itu membuat Bara cepat-cepat berdiri. Dia akan mengembalikan foto itu.
Bara menyusuri koridor. Matanya masih menatap foto seorang anak kecil bersama seorang perempuan yang memegang sebuah buku. Apa ini Nara dan Ibunya? Bara juga tidak tahu.
"Ngapain lo?" Langkahnya terhenti saat menemukan Delon di depannya.
"Nyari Nara. Duluan, Lon." Bara hendak melewati Delon tapi jalannya di cegat. Bara mendur selangkah dan menatap tanya.
Delon melirik kanan dan kirinya. "Jangan temuin Nara dulu, Bar."
"Ikut omongan gue. Jangan temuin dulu," ucap Delon sekali lagi.
Namun, Bara juga sama keras kepalanya seperti Delon. Ia berdecak malas dan mencoba lewat. Melihat itu, Delon menarik Bara mundur dengan paksa. "Lo gak bisa ke sana."
"Kenapa lo? Mau coba halangin gue kayak kemaren-kemaren? Cih! Gue gak akan mundur asal lo tau," ujar Bara lantang. Ini sama seperti apa yang dulu dilakukan mereka saat Bara memutuskan untuk pergi pertukaran.
Dan Bara tidak akan lagi mengikuti Delon. Dia yakin pasti ada yang tidak beres sampai-sampai Delon yang dikenal acuh pada orang lain, bisa menghalanginya bertemu Nara.
"Gue gini bukan buat diri gue. Tapi buat dia. Lo gak bisa muncul di keadaan yang gak tepat, Bar. Atau kalau lo mau dia sakit lagi, silakan."
Delon adalah orang yang dulu menghalangi sesuatu. Tapi bukan untuk kepentingannya. Delon cukup tau diri untuk tidak merebut apa yang tidak ditakdirkan bersamanya.
Untuk yang satu ini, dia hanya akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki satu kesalahan yang juga pernah ia buat.Walaupun dengan pergerakan diam-diam sekalipun.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
BANTARA (NEW VERSION)
Ficção Adolescente[TAMAT] Ini bukan kisah penuh romansa dengan bumbu yang menggetarkan dada, juga bukan fantasi hebat yang menyemburkan pengalaman paling indah. Tapi ini hanya tuangan kisah dalam ruangan rahasia seorang Nara. Nara itu seorang penulis. Namun, ia berhe...