Langitnya sangat gelap saat kupatahkan hatinya.
"Apa kau terluka?" aku menatap matanya dalam diam.
Dia hanya terduduk diam menatapku tak percaya.
"Kau tahu? Aku ingin berkata maaf, tapi aku tidak yakin apa itu cukup. Aku bahkan tidak yakin apa itu tulus."
"Kenapa kau seperti ini?" kata-kata itu meluncur dari matanya yang selalu terlihat layu.
"Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak sama dengan mereka?"
"Aku tidak mengerti." katanya.
"Aku tahu. Aku juga tidak meminta kau untuk mengerti."
Kulihat dia tertunduk. Semakin keras suara hatiku untuk menanyakan apakah ia terluka atau tidak.
"Baiklah, aku tidak akan mengatakan maaf karena kau juga tidak mau mengatakan apa kau terluka. Satu-satunya permintaan maaf yang mungkin akan kukatakan adalah Maaf karena sudah membawamu ke dalam permainan gila ini."
"Jadi kau hanya mempermainkanku?" tanyanya tak percaya.
"Anggap saja begitu."
Dia semakin terkejut. Aku melihat di matanya menggenang air mata. Hatiku bertanya-tanya apa sekarang saatnya untuk merasa bersalah.
"Begini, sekarang kau sudah tahu. Jika kau memang kuat, maka bertahanlah di sisiku, buat aku melihatmu dan berhenti melihatnya. Tapi jika kau pikir kau tidak akan sanggup bertahan, maka pergilah. Aku tidak keberatan dengan keputusan apa pun yang akan kau ambil. Pada akhirnya, aku tetap tidak akan tersakiti, aku tidak tahu apa itu rasa sakit, ingat? Kau tetap akan menjadi satu-satunya orang yang tersakiti di cerita ini."
Kau tertunduk. Aku bertanya-tanya apa sekarang kau sudah ragu. Tiba-tiba saja kau berdiri, membuatku harus mengangkat kepalaku.
"Aku ... akan memikirkan jawabannya." katamu.
Aku tersenyum--palsu--padamu. Kau juga tersenyum, tipis.
"Oh iya!" aku menarik tanganmu.
"Apa lagi?" tanyamu.
"Jika nanti kau memilih pergi, jangan lupa mengatakan Selamat Tinggal. Supaya aku bisa tahu kau benar-benar menyerah. Tapi kalau jawabanmu adalah tetap bertahan di sisiku, maka katakan saja Aku Datang. Agar aku bisa tahu kau memang tidak ingin pergi."
Kau hanya menatapku iba, entahlah aku tidak yakin apa itu iba atau justru sebal. Yang pasti kau terlihat sedih.
"Oke, akan kupikirkan."
Kau pergi. Ditelan gelapnya malam. Aku bertanya-tanya apa kau akan kembali atau justru akan pergi. Tapi sesuatu dalam hatiku berkata:
*Apa itu penting? Dia itu cuman boneka dengan rambut biru yang lucu, iyakan? Kita hanya mempermainkannya.*
Aku tersenyum. Hatiku memang selalu benar. Aku dan hatiku pergi. Kami tersenyum palsu pada siapa pun yang kami temui. Selalu.---TO BE CONTINUE---
Lah, kok ada cerita di sini? Yah terserah aku 😅😅 Maaf ya membingunkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NARA & ZARA
Kurgu OlmayanSajak Nara dan Persepsi Zara Aku membuat ini untuk menuliskan pandanganku terhadap dunia. Tentang kekesalan, keresahan, dan harapanku padanya. Aku hanya ingin menuliskan apa yang tidak bisa kukatakan. Jadi selamat membaca.... (∩_∩) Isi: Sajak, opini...