Sakit Tapi Tak Berdarah

218 17 0
                                    

Bola mata hitam itu melirik kalender di pojokan meja kerjanya. Ada lingkaran merah bertuliskan jadwal hari itu - rapat PBB. Indonesia merenggangkan tubuhnya malas. Ia enggan datang. Sedang tidak ingin bertemu dengan seseorang - Australia. Sedang tidak ingin melihat wajah innocent cowok bule itu. Setiap kali ia teringat tatapan Australia yang lugu dan tak berdosa itu, ia jadi merasa jahat. Apalagi kemarin itu, waktu Australia datang ke rumahnya dan menggedor-gedor pintu sambil teriak-teriak minta bertemu. Indonesia tahu pemuda itu dalam kondisi kacau. Ia tahu dan ia ada di dalam rumah, hanya saja ia tidak mau membukakan pintu. Ia sedang gamam. Gamam dengan perasaannya sendiri.

 Gamam dengan perasaannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Indonesia menggigit bibirnya. Teringat akan peristiwa malam itu – saat Australia tiba-tiba saja mengakui perasaannya. Bola mata hijau itu tampak berapi-api. Indonesia tahu laki-laki itu sungguh-sungguh dan tulus. Namun, ia sungguh tak menduganya. Australia, sahabat karibnya yang selalu menghabiskan waktu bersamanya. Australia yang selama ini ia anggap seperti kakaknya sendiri. Australia yang selalu tersenyum dan bertingkah konyol. Australia yang tak sungkan menempuh jarak ribuan kilometer dari rumahnya hanya untuk mendengar keluh kesahnya. Ah, kenapa selama ini ia tak pernah menyadarinya!?

Australia, sahabatnya itu tiba-tiba menyatakan cintanya. Kejutannya tidak berhenti sampai di situ saja. Cowok bule itu lalu memeluknya, mendekapnya erat seraya membelai untaian rambut hitamnya. Ia lalu menciuminya bertubi-tubi sampai Indonesia kehilangan pertahanannya dan  mereka kehilangan kendali. Lalu Indonesia pun kehilangan akal sehat saat seluruh artikel di tubuhnya dilucuti dan tubuhnya ditatap lekat oleh laki-laki berkulit merah itu. Tatapannya teduh, namun liar, antara sorotan penuh cinta dan juga hasrat mendamba yang begitu besar.

"Aku mencintaimu, Indo...."

Dan Indonesia merasa seperti tersihir. Tubuhnya seolah lemas kehilangan tenaga. Ia pun hanya pasrah saat tubuh besar laki-laki itu menguasainya.

Indonesia bergelung. Pikirannya campur aduk.

Sayang aku bukanlah Bang Toyib
Yang tak pulang pulang
Yang tak pasti kapan dia datang

Terdengar nada ring tone norak milik Indonesia. Lamunannya pun buyar. Diliriknya layar smartphone-nya. Terpampang tulisan "Pak Boss."

"Y-ya, halo, Pak!?" diterimanya panggilan dari bosnya itu.

"Le, kowe dateng lho ya, rapat PBB! Pokoke mesti dateng! Ojo ra dateng lho!*" terdengar suara sang bos di ujung sana.

"Nggih, Pak, nggih! Panjenengan sabar tho, yo, kulo isih macak niki lho!**" Indo menjawab dengan dongkol. Ini sudah kali ketiga bosnya itu menelpon dan menyuruhnya pergi rapat.

"He, tenanan lho, ya!***"

"Iya, iya!"

"Yowes, nanti laporkan hasilnya ya!"

Telepon diputus.

"Ckk!" Indo mendecak sebal. Diacak-acaknya rambutnya.

Sebenarnya ia ngga mau datang. Sungguh ngga mau datang. Ia ngga mau bertemu Australia. Ada rasa malu, juga tak enak hati dan aneh dan janggal dan awkward dan ah, pokoknya ia ngga mau berjumpa dengan laki-laki itu!

CursedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang