Tak Biasa | 12

8K 574 82
                                    

Pria itu masuk ke mobil yang telah menunggunya di depan pintu masuk dan menghilang. Bibirnya tersunging senyuman yang khas, senang rasanya bisa melihat langsung bagaimana Zelia bekerja sesuai dengan bakat dan keinginannya. Hari-harinya menjadi cerah, secerah matahari yang bersinar di siang ini, terik.

"Aku mengikutimu ke mana kau pergi. Dari Timur hingga Barat seperti pergerakan bunga matahari yang selalu mengikuti ke mana matahari bergerak." Pria itu berkata dalam hati.

"Ke Ravish, Pak?" tanya sopir yang menoleh sekilas ke arah pria berkaus Polo kuning itu.

"Tidak, langsung ke Kasava saja," katanya.

"Baik, Pak."

Mobil itu melaju dalam kecepatan sedang, mengingat ini jam makan siang dipastikan ramai oleh kendaraan lalu-lalang. Pria itu turun tepat di depan pintu masuk Kasava, restoran daging milik salah satu sahabatnya itu ramai oleh pengunjung. Aroma daging yang dipanggang menguar seantero ruangan di lantai satu, ia sedikit terganggu dan memilih menaiki tangga menuju lantai dua. Ada banyak ventilasi udara yang keluar masuk jadi tempat ternyaman baginya.

Pria itu tersenyum ketika melihat orang yang ingin ditemuinya ada di salah satu meja di lantai dua. Pria tua berkumis semburat hitam dan putih itu membalas senyumannya, mempersilakannya duduk dan menikmati hidangan yang telah dipesannya terlebih dahulu. Daging sapi dipanggang dengan campuran bumbu meresap sampai ke dalam menguar, asapnya membumbung dan aromanya sedap.

"Aku pesan stik saja yang well done." Pria itu hampir memanggil salah satu pelayan. Akantetapi sahabatnya datang membawakan stik daging kesukaannya, matang sempurna.

"Aku tahu apa yang kaumau, Vind." Sean, sahabat sekaligus sahabatnya datang membawakan seporsi stik daging kesukaannya.

"Kau memang sahabat terbaikku," kata pria berkaus kuning itu.

"Tentu."

"Paman tambah lagi kalau kurang, aku traktir."

Pria berambut semburat putih dan hitam itu tersenyum kecil. "Ini lebih dari cukup. Orang tua sepertiku tak bisa makan daging banyak-banyak. Sedang senang ya?"

Pria berkaus kuning itu tersenyum sambil mengunyah potongan kecil stik dagingnya. "Tentu, aku melihatnya sehat, tetap cantik dan seksi."

Sean tertawa kecil. "Aku terkejut dia tak tahu siapa dirimu, begitu banyak clue yang kauberikan. Kalau aku jadi kau, sudah kuseret dia ke gereja sekalian."

"Itu kau bukan Arvind," kata pria tua yang menyahut.

"Benar kata Paman Eggy. Aku lebih suka begini, ajaranmu kan!" seru pria berkaus Polo kuning, Arvind.

"Ya, ya, ya, kalian benar."

"Kapan kita bicara serius soal proyek?"

"Setelah kau selesai makan, ingat kau itu harus cukupi kebutuhan tubuhmu, tak hanya kebutuhan hatimu saja." Sean mengatakan fakta, Arvind tertawa kecil mendengar godaan Sean.

"Benar itu, akan lucu jadinya jika kau mau menjaganya malah sakit." Paman Eggy mengiyakan.

Arvind tak seberapa suka daging, tapi sesekali menghargai niat sahabatnya tak masalah bukan? Apalagi ada Paman Eggy yang mengajaknya bertemu di sini, beberapa wejangan dari pria yang telah lama hidup itu banyak gunanya. Ia juga memberikan strategi soal bagaimana membuat proyek mereka berhasil. Paman Eggy meminta maaf karena dirinya yang datang bukan Paman Silas karena kesibukan lain yang tak bisa ditinggalkannya.

♧♧♧

Zelia terduduk di bangku tunggu bandara setelah lelah berlari mengejar pria berkaus Polo kuning itu, perasaannya campur aduk antara takut, penasaran dan lelah menjadi satu. Fira datang tergopoh-gopoh membawa kursi lipat dan tas make up Zelia, bertanya mengapa Zelia ada di sini jauh sekali dari tempat kuris lipat berada? Zelia tak segera menjawab pertanyaan Fira, melainkan meminta Fira duduk karena napasnya pendek-pendek.

Exquisite ✓ [Terbit : Ready Stock] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang