Pria tua yang duduk di atas kursi roda berusaha mendekatkan diri di sebuah laci. Entah mengapa, nalurinya ingin membuka pintu laci itu dan melihat apa yang ada di dalamnya. Tangan tuanya terulur masuk perlahan, selembar foto dalam pigura putih membuat hatinya menghangat. Mata tuanya berkaca-kaca memperhatikan, bibirnya bergetar dan hatinya menjadi terasa sesak.
"Alma... Alma... kamu di mana?" tanyanya dalam tangis. Foto itu didekapnya erat, serasa bisa tenang bila mendekapnya demikian.
Stefani datang membawakan sarapan, mendengkus karena harus masih di rumah sementara Zelia belum datang. Ia melihat papanya mendekap pigura putih kemudian menaruh nampannya di meja, berjalan mendekati papanya dan mengambil pigura itu. Davendra kaget dan mendongak menatap pigura yang diambil paksa darinya.
"Papa sarapan dulu, ya." Stefani menyimpan pigura itu di atas lemari pakaian.
"Kembalikan, Stefani. Kembalikan, berikan pada papa," pinta Davendra sedih.
"Foto itu tidak penting lagi, dia sudah pergi dan jangan buat aku berkata buruk lagi akannya, Pa. Ayo, Stefani suapi." Stefani mengambil mangkuk berisi bubur ayam sarapan untuk papanya.
Davendra membuang muka. "Kamu janji sama papa untuk cari dia, Stefani. Kenapa lama sekali tak ada kabarnya?"
"Dia sudah meninggalkan papa, sekali wanita enggak baik dikasih hati ya tetap saja begitu, ayo papa sarapan dulu lalu minum obat." Stefani menyorongkan sesendok bubur ayam ekstra daun bawang.
Davendra tetap membuang muka, "Cari Alma, cari Alma, Stefani."
Stefani merasa jengah, mengembuskan napasnya dan memutar bola matanya. "Jadi, Papa enggak mau makan? Baiklah, aku enggak akan cari dia lagi."
Davendra menoleh. "Kamu bohongi papa, anak durhaka."
Stefani menatap papanya sambil memijat pelipisnya. "Apa hanya dia yang ada di pikiran Papa? Ke mana nama Tania, Papa selalu mencari Tante Alma, Tante Alma dan Alma. Papa lupa bahwa Tania sudah memberimu tiga anak."
Davendra menunduk menangis dalam diam, apa yang dikatakan Stefani memang benar. Hanya ada nama Alma yang berputar-putar di benaknya selama ini, wanita cantik berpipi bundar yang memberinya seorang anak lelaki, Arvind Malanov. Stefani keluar dengan perasaan marah dan sedih bercampur aduk, mengabaikan sapaan Zelia yang tergugu di lorong menuju kamar Pak Davendra. Zelia bangum terlambat, penyebabnya siapa lagi kalau bukan Arvind.
Zelia tak melihat sosok Arvind di belakangnya, kosong. Ia pun mendekati kamar yang terbuka penuh, suara tangis kakek si Kembar Matt dan Marion terdengar. Zelia segera masuk dan berlutut di depan Pak Daven, tapi pria itu masih saja menangis dan memegangi dadanya.
"Bapak kenapa? Lapar?" tanya Zelia.
Davendra mengangkat perlahan tangannya ke atas, "Ambilkan. Ambilkan."
Zelia melihat apa yang ditunjuk Pak Davendra, awalnya ia membuka lemari kayu itu, bukan, pria tua itu masih menunjuk. Zelia berjinjit sedikit untuk meraba apa pun itu di atas lemari, bergeser pelan mencari ke sisi lain untuk temukan sesuatu. Ia merasa ada sesuatu benda yang dingin, datar dan berbentuk aneh. Ia mengambilnya perlahan namun hampir saja oleng terjatuh jika tak ada Arvind yang menangkapnya. Wajah mereka begitu dekat hingga embusan napas beradu dan dekapan itu terasa erat sekali.
"Bisa kan panggil aku buat mengambilnya?" tanya Arvind.
Zelia membenarkan posisi berdirinya, "Tadinya, kupikir kau sibuk jadi kuambil sendiri."
Zelia menatap apa yang telah diambilnya di atas lemari selain debu di ujung jarinya. Sebuah pigura putih berisi foto seorang wanita cantik.
"Mana, mana berikan padaku, berikan," pinta Pak Davendra merentangkan kedua tangannya dengan wajah sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Exquisite ✓ [Terbit : Ready Stock]
Romance21+ ⚠Don't Copy My Story ⚠ Zelia tak pernah tahu siapa yang telah berani meneguk kenikmatan tubuhnya malam itu. Ia sangat frustasi takut jika dunia tahu apa yang telah terjadi padanya. Zelia mencari sosok pria yang menjamahnya dengan cara-cara yang...