Tuduhan-25

4.3K 212 13
                                    

Sudah ada pesan ketiga dari Matt untuk saudari kembarnya itu datang, memberi pengingat bahwa ini masuk jam makan siang kakek mereka. Sesuai kesepakatan, Marion yang harus mengurusi kakenya selama dua hari ini. Marion mendesah, merasa baru saja berkumpul dengan teman-temannya, tapi kini harus segera pulang. Ingin sekali gadis yang baru saja dicat cokelat keemasan itu akan memesan makan siang, begitu melihat pesan dari Matt mengurungkannya.

Teman-teman Marion menahan gadis itu untuk tetap tinggal, tapi janji adalah janji yang harus ditepati karena sudah disepakati dengan Matt. Marion menghentikan taksi yang akan pergi usai menurunkan penumpang. Ada waktu dua puluh menit sebelum jam makan siang benar tiba, jalanan sedikit ada gangguan sebab kereta listrik mengalami kesalahan konektivitas.

Marion merogoh tasnya untuk mengambil uang membayar taksi, kemudian turun dan sudah mendapatkan jepretan kamera para wartawan, ditambah orang-orang mengerubungi rumah kakeknya. Marion melongo, tak mengerti dengan mereka yang datang seperti akan melihat konser. Ia menoleh ke belakang kala mendengar decitan taksi, Matt turun dari sana dan langsung mendekati Marion.

"Paman Rei memberitahuku kalau... kakek sudah meninggal tak lama setelah kau pergi."

Marion merasa begitu kaget dan tercekat. "Apa? Gimana bisa? Kapan? Kamu jangan prank, Matt!"

"Ini serius!" Matt menarik tangan Marion membelah ratusan orang yang mengerubungi rumah kakeknya.

Langkah keduanya terhenti tepat di ruang tengah yang luas, di sana pria tua yang sering memberi mereka uang jajan dan petuah-petuah soal hidup terbujur tak bergerak. Pria yang tengah meratapi kepergian kakek keduanya tampak begitu terpukul, masih menunduk di sisi papanya tak henti mengelus lembut dan meminta maaf karena tak bisa memberikan yang terbaik. Stefani dan Rei tak kalah terpukul dengan kepergian papa mereka yang mendadak.

Marion mendekati Stefani, sama-sama menangis dan bertanya kapan tepatnya Kakek Davendra meninggal? Stefani berkata jika dia sudah pergi menemui seseorang ketika Davendra masih hidup. Begitu juga bibi, sepergi Marion, bibi menyelesaikan pekerjaannya kemudian menengok pria tua majikannya itu untuk memberikan teh hangat dan tak menemukannya di ranjang.

"Trus bibi temukan kakek di mana? Pas aku pergi, kakek memang batuk-batuk katanya nunggu Paman Arvind saja periksanya." Marion berkata lirih sambil mengusap air matanya yang tak henti mengalir.

"Iya, Non. Bibi temukan Pak Davendra terjatuh di sisi ranjang dekat jendela. Bibi kira sudah pergi sama Pak Arvind, tapi bibi merasa enggak enak hati, bibi periksa. Bapak sudah tak bernyawa di sana." Bibi mengusap air matanya.

Marion terisak, begitu juga dengan Stefani. "Tahu gitu aku temani papa, aku sibuk dan... dan...."

"Ini bukan kesalahan Tante," kata Marion menenangkan Stefani. Bahu Stefani bergetar kala memeluk keponakan perempuannya itu.

Sementara Matt berada di sisi Arvind yang bersimpuh di sisi jenazah. Arvind sangat terpukul dengan kepergian papanya, padahal ia sudah menyiapkan paket liburan untuk orang tuanya bersama keponakan dan Zelia. Tapi, niat baiknya itu sudah didahului kematian. Arvind sudah akan pergi kemari, apalagi mendatap pesan dari Stefani kalau papanya sedang sakit batuk dan ia yang akan memeriksakannya ke dokter.

"Sabar, Paman Arvind."

"Paman mau ke sini, bahkan sebelum diberitahu Stefani. Tapi, aku belum ke sini bertemu papa, papa sudah pergi." Arvind merasa menyesal tak ada di saat-saat terakhir papanya. Tak hanya dirinya saja, Rei, Stefani, Marion dan Matt juga tak ada di sana saat Davendra pergi menjemput maut.

Berita kematian Davendra diberitakan semua stasiun televisi dalam sekilas info yang jelas ditonton oleh banyak orang. Para tetangga terdekat dan para pelayat yang sebagian besar adalah sahabat Davendra berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa. Karangan bunga dari beberapa orang penting sudah ditata depan dan dekat rumah duka.

Exquisite ✓ [Terbit : Ready Stock] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang