Setan Sok Baik | 15

7.1K 546 77
                                    

Zelia merasa tubuhnya menghangat. Bukan karena demam, melainkan dekapan yang begitu erat mendekapnya. Ia membuka mata dan melihat pria yang sama sekali tak ingin dilihatnya saat membuka mata pagi hari, Arvind. Tak hanya itu, suara detak jantung dan napasnya seirama, sungguh Zelia merasa seperti mendengar detak jarum jam yang berputar sesuai porosnya.

Dia ini setan tapi bukan setan. Tapi, dia ada di mana-mana kayak setan. Tapi juga, mana ada setan setampan dia, kebanyakan mukanya jelek banget.

Zelia melepaskan dekapan Arvind, tapi pria itu juatru semakin erat mendekapnya sambil mengerang terpejam. Model wanita itu mendorong tubuh Arvind lagi dan lagi tapi sulit, karena tubuh pria itu jauh lebih besar daripadanya.

"Minggir! Aku colok loh!" ancan Zelia.

Arvind mengerang. "Tidur lagi, masih jam empat."

"Jam empat dari Hongkong! Ini sudah jam enam. Lepaaas," pinta Zelia tapi tak dituruti Arvind dan malah mendekapkan tubuh Zelia di dadanya.

Zelia mendongak sambil memicingkan mata, memasukkan dua jari tangannya masuk ke dalam hidung Arvind. Sontak lelaki itu terduduk kaget dan menatap Zelia dengan wajah kusutnya.

"Apa yang kaulalukan?" tanya Arvind, Zelia bangkit dengan cepat dari ranjang.

"Kembalilah ke alammu, aku ada jadwal. Setan biasanya kembali ke tempatnya sebelum matahari muncul, tuh lihat!" Zelia menunjuk ke arah jendelanya dan pergi segera ke kamar mandi, menguncinya dengan cepat.

Zelia menoleh ke pintu berharap Arvind pergi dari kamarnya segera. Sungguh pagi ini ia harus bersiap sebelum Kak Damar memprotesnya dengan telepon yang beruntun. Fira dipastikan juga akan datang sebelum jam tujuh karena pemotretan dilakukan pukul sembilan itu sudah beserta segala persiapannya, pemotretan kali ini akan dilakukan di luar ruangan.

Zelia keluar dari kamar mandi memakai baju handuk dan tak melihat siapapun di kamarnya, tak lama suara Fira terdengar disusul ketukan di pintu. Zelia menjawab jika sudah bangun dan mengganti pakaian. Ia keluar dan turun sambil memeriksa rumahnya setelah bersiap, siapa tahu Arvind masih ada di rumahnya dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang memusingkannya.

"Pagi, Zelia!" seru Fira yang menyapanya begitu semangat.

"Pagi, Mbak Zelia. Mau sarapan apa?" tanya Bu Restu yang juga menyapanya hangat.

Zelia duduk dan melihat sekitar, sepi. "Pagi, Fir. Pagi, Bu. E, roti saja. Oh ya, Bu bawakan bekal isi buah-buahan potong, lagi pengen."

"Siap." Bu Restu menjawab sambil mengangguk.

"Cari apa? Cari siapa?" tanya Fira.

Zelia menatap Fira kemudian tertawa kecil. "E, enggak kok."

Zelia melanjutkan makannya pagi ini, sungguh tak menyangka jika ia semalam tidur nyenyak bersama seorang pria yang tak dikenalnya dengan baik. Siapa dia, tinggal di mana, pekerjaannya apa? Latar belakangnya apa? Anak siapa? Ya, mungkin Zelia tahu jika pria itu adalah anggota keluarga Kakek Daven, pria tua yang tak sengaja ditabraknya. Ponsel Zelia menyalang nyaring sedikit mengagetkannya, sebuah nama tertera di sana, Stefani.

"Kau di mana? Enak saja menyuruh keponakanku yang menjaga papa sendirian, huh?" tanya Stefani yang terdengar tak bersahabat.

Zelia menelan gumpalan roti lapis selai cokelat sebelum akhirnya bersuara. "E, Kak. Semalam aku disuruh Matt pulang karena pagi ini aku memang ada pemotretan, Kak."

"Apa pun alasanmu, jangan persuruh keponakanku lagi!"

Fira dan Bu Restu tak tahu Zelia bicara dengan siapa, yang jelas wajah Zelia tampak kaget bercampur takut. Fira sudah berpikir yang tidak-tidak mengenai penelepon, menurutnya penelepon merupakan pria yang sama menyerangnya dan Zelia. Tapi, Fira tak ingin menyela dan bertanya mengenai persepsinya selama Zelia bicara di telepon, ia menunggunya selesai.

Exquisite ✓ [Terbit : Ready Stock] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang