[3] Memaafkan

107 12 1
                                    

Pada pukul 17.06 Puja pun terbangun dari tidurnya.
Puja sangat lelah, mungkin karena ia baru saja menangis.

"Baru kali ini aku menangis lagi hanya karena seorang Pria," ujar Puja yang masih berada di tempat tidurnya.

"Dari pada aku bosan lebih baik aku melihat senja ditaman saja," ucap Puja yang langsung meninggalkan kamarnya.

"Mah, Puja mau ketaman dulu sebentar," ujar Puja meminta izin pada Anita.

"Iya nak, hati-hati. Jangan pulang kemalaman juga," jawab Anita yang sedang bersantai di ruang keluarga.

"Siap bos! Assalamualikum," pamit Puja.

"Waalaikumsallam".

Setibanya di taman, Puja segera mendudukan dirinya pada kursi yang sering ia duduki ketika mendatangi taman dan bersantai sembari melihat senja.

"Hai Puja," sapa Kris yang tiba-tiba saja datang dan duduk disebelah Puja tanpa rasa bersalahnya.

Puja tidak menjawab sapaan Kris. Karena dia masih kecewa kepada Kris yang memperlakukan dia seenaknya.

"Puja, kau tidak apa-apa kan? Aku menyapa mu loh. Kamu kok gak balik nyapa?," tanya Kris kepada Puja yang masih saja diam.

"Maaf, anda siapa? Saya tidak mengenal anda," celetuk Puja dengan dinginnya.

"Hah?," tanya Kris heran.

"Ini pasti gara-gara tadi," lanjut Kris.

"Silahkan pergi dari sini," ujar Puja mengusir Kris.

"Aku tadi gak bermaks...," ujar Kris yang ingin menjelaskan semuanya tetapi terpotong oleh ucapan Puja.

"Tidak bermaksud apa hah? Tidak bermaksud mengenaliku begitu? Ah, sudahlah aku ini memang cupu dan sok cantik. Jadi, kau tak usah mengenaliku, apa lagi berteman denganku," jelas Puja panjang lebar.

"Dengarkan aku dulu Puja," ujar Kris dengan suara halusnya.

"Dengarkan apalagi Kris? Dengarkan hinaanmu lagi maksudmu? Aku sudah muak dengan hinaanmu itu Kris," ujar Puja dengan wajah kesalnya.

"Tidak, dengarkan aku dulu Puja," jawab Kris dengan halus dan menatap lamat-lamat mata Puja.

Puja tidak mememukan sedikitpun ketidak seriusan pada mata Kris. Oleh karena itu dia mau mendengarkan Kris.

"Aku melakukan itu kepadamu karena aku tidak mau yang lain tahu kalau kau mengenaliku apalagi teman-temanku," ujar Kris.

"Memangnya kenapa kalau teman-temanmu tahu kalau aku mengenalimu?," tanya Puja yang heran dengan pernyataan Kris.

"Aku tidak mau kalau kau menjadi bahan bullyan mereka. Cukup aku, kamu dan Tuhan saja yang tahu kalau kita saling mengenal. Oke?," ujar Kris meyakinkan Puja.

"Kenapa harus begitu Kris?," tanya Puja kembali.

"Tak apa Puja, memang seharusnya begitu," jawab Kris meyakinkan Puja.

"Senja nya sudah mulai surut," ujar Puja yang kembali melihat senja dari kejauhan.

"Dan rembulan akan segera datang," balas Kris dengan senyum dibibirnya.

"Kau tidak belajar untuk ujian besok?," tanya Puja pada Kris.

"Belum, nanti saja. Aku masih ingin menetap menikmati rembulan yang ada disana (sembari menunjuk ke arah rembulan) dan yang ada disini (sembari menoleh ke arah Puja)," rayu Kris untuk kembali menghibur Puja.

"A-apa?," jawab Puja dengan gugup.

"Pipimu merah, besar lagi. Seperti ikan kembung yang sedang kaget," canda Kris kepada Puja.

"Apasih Kris, tidak lucu tau," ucap Puja yang langsung memegang pipi dengan kedua lengannya dan mengerucutkan bibirnya.

"Apa lagi kalau kau seperti itu. Sudah seperti bakso jumbo, hahahaha," canda Kris yang sudah keterlaluan menurut Puja.
Tapi, dengan diperlakukan seperti itu Puja merasa nyaman dengan Kris. Puja tidak membutuhkan coklat apalagi bunga. Ia hanya membutuhkan kehangatan dari seorang pria selain ayahnya. Ia tidak mau jika kejadian-kejadian yang lalu terulang kembali dan menumbuhkan rasa sakit yang berkepanjangan.
Sangat sulit jika menyatukan kembali hati yang sudah patah, kau harus tau itu. Maka dari itu, jagalah hatimu dari apapun yang akan mematahkan satu-satunya hati yang kau punya.

"Kau tidak mau membuatku marah tapi kau sendiri yang menyebalkan, bagaimana aku bisa diam Kris?," kesal Puja kepada Kris.

"Aku minta maaf Puja, tapi kau ini memang lucu," ujar Kris di sela-sela tawanya.

"Aku memang lucu dari lahir Kris," ucap Puja dengan percaya diri.

"Lucu pipinya saja maksudku, hahahaa," canda Kris sekali lagi.

"Tidak usah ketawa Kris, tidak ada yang lucu," omel Puja dengan nada sinis.

"Aku mau pulang," lanjut Puja yang hendak berdiri dari tempat duduknya.

"Sebentar," ujar Kris yang refleks mencekal pergelangan tangan Puja untuk mencegahnya dengan serius.

Puja menatap pergelangan tangannya yang dicekal oleh Kris.

"Maaf," ujar Kris yang menyadari perlakuannya.

"Aku maafkan. Ada apa?," tanya Puja pada Kris dan mendudukkan kembali dirinya pada bangku taman.

"Aku mau memohon kepadamu, sama seperti saat kau memohon pada senja tempo hari lalu," ujar Kris pada Puja yang sedang duduk menatapnya.

"Maksudmu?," tanya Puja yang masih pura-pura tidak tahu.

"Iya, kamu kan pernah memohon pada senja agar menetap lebih lama dan tidak meninggalkan begitu saja. Begitu kan?," jawab Kris memastikan ucapannya.

"Loh kok kamu tau?,"heran Puja. Karena saat itu Kris belum ada, itu yang diketahui Puja.

"Aku tau apapun tentangmu Puja," ucap Kris dengan suara memelan.

"Astaga! Kau telah menerbangkanku Kris, awas saja kalau kau menjatuhkanku seperti tadi," ujar Puja didalam hatinya.

"Puja? Puja?," tanya Kris kepada Puja yang sedang melamun.

"Ehh, iya Kris kenapa?," jawab Puja dengan gugup.

"Tidak apa-apa. Aku hanya menyadarkanmu dari aktivitas melamunmu itu," ujar Kris yang kembali diam.

"Kris?," panggil Puja kepada Kris.

"Ada apa?," tanya Kris heran.

"Aku lapar, hehe" ujar Puja cengengesan.

"Tinggal makan saja, apa susahnya," ucap Kris tak peduli.

"Baiklah, antar aku,"ajak Puja sembari menarik tangan Kris.

"Ehh ehh, mau kemana?," tanya Kris yang kaget karena tangannya ditarik oleh Puja secara tiba-tiba.

"Antar aku membeli bakso yang ada disebrang jalan sana, ayo Kriss!," rengek Puja yang sudah sangat kelaparan.

"Baiklah ayo!," jawab Kris yang langsung berdiri dan melangkahkan kakinya ke tukang bakso.

*******

Senja & RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang