Setelah selesai ke salon, ke butik dan ke rumah sakit spesialis mata, Marji pulang dengan muka lusuh. Mungkin karena merasa capek atau mungkin juga karena patah hati.
Patah hati, kenapa?
Karena Bagas pria yang Marji kagumi selama ini, ternyata sudah menikah. Marji teringat kata-kata Bagas tadi.
"Bang Bagas jahara, huhu ...."
"Jahara? maksud Mas Marji apa?" tanya Bagas heran.
"Yey, sudah membohongi eyke mentah-mentah."
"Lho, bohong apa? perasaan selama ini saya nggak pernah bohong sama Mas Marji."
"Yey, ajak eyke jelong-jelong. Ke salon, ke dokter mata. Eyke sudah simpetong sama yey. Tapi yey baru bilang kalau yey sudah menikah, huhu ... Eyke benci yey!"
Marji berlari kecil menuju kamar. Menghempaskan semua belanjaan yang sudah di tentengnya sejak tadi. Lalu kembali terisak tangis di balik bantal sambil membalikkan badannya.
"Tong! kenape lu? pulang belanja bukannya seneng, ini malah sedih," tanya emak merasa heran.
"Bang Bagas jahara, Mak! eyke benci sama lekong cucok meong itu, huhu ...."
"Lu di apain sama den Bagas, Tong? elu ngomong sama Emak. Biar Emak pites entu orang."
"Bang Bagas sudah bikin eyke patah hati, Mak. Huhu ..." Marji kembali terisak tangis. Rambutnya terlihat berantakan, setelah bringsutan nangis guling-guling di atas kasur.
"Patah hati? maksud elu apa, Tong?"
"Bang Bagas baru bilang sama eyke, kalau dia udah punya anak istri, sedangkan Marni sudah terlanjur cinta sama entu lekong, Mak."
"Ya Allah, ya Robbi ... Emak kira elu di apain sama den Bagas, Tong! kalau begini mah berarti elu aja yang gue pites."
Pletok ...
"Aduh ... Emak, kenapa malah Marni yang di pites? kepala Marni sakit, Mak. huhu ..." Marji berbicara sambil memegang kepalanya.
"Lagian elu aneh, Tong! Emak kan udah bilang ama elu. Lu robah kebiasaan lu, bentar lagi apan elu mau nikah."
"Nikah? Marni nggak mau di madu sama Bang Bagas, Mak."
Pletok ....
Emak kembali mendaratkan kepalan tangannya di kepala Marji dengan ujung jarinya.
"Aduh ... Emak, sakit ...."
"Abisnya Emak gemes ama elu, Tong! bodoh lu tuh kebangetan ...! siapa juga yang mau nikahin lo ama den Bagas? elu itu laki-laki, dan akan nikah sama perempuan. Bukan nikah sama den Bagas! ngerti kagak lu?"
"Tapi Marni terlanjur jatuh hati sama Bang Bagas, Mak. Sejak pertama bertemu, tatapannya itu ... wajah gantengnya. Bikin Marni nggak kuku, aih ... pokoknya Marni suka bang Bagas sejak pandangan pertama."
"Marji, inget nama lu Marji, bukan Marni. Elu itu laki, bukan perempuan. Elu juga mesti suka sama perempuan, bukan suka sama den Bagas.
"Tapi, Marni ..."
"Nama lu Marji, Tong! bukan Marni," emaknya Marji melotot, merasa kesal dengan prilaku anaknya ini.
"I--iya, Mak. Marji minta maaf."
"Ya udah, sekarang elu siap-siap, elu masukin semua baju lu ke tas. Kata den Bagas, hari ini juga, elu mau di ajak ke kota ketemu babeh sama calon istri elu, Ji. Den Bagas udeh nunggu lu di depan sejak dari tadi."
"Sekarang, Mak?"
"Iye, Tong! sekarang elu kudu ke sono."
"Tapi Marji nggak mau ninggalin Emak sendiri di sini, huhu ...." Marji menangis kembali sambil meluk emaknya.
"Udeh, kaga usah nangis. Apan Emak di sini kagak tinggal sendiri. Masih ada abang lu, dan ade-ade elu juga, Tong. Elu bisa balik lagi kapanpun yang elu mau."
"Marji sayang, Emak."
"Iya, Emak juga sayang ama elu, Ji."
"Kalau Emak sayang sama eyke, kenapa Emak paksa eyke nikah sama kaum pereu?"
"Justru itu karena Emak sayang ama elu, Ji. Emak nggak mau elu seperti ini. Elu harus berubah jadi laki yang bener."
"Tapi, Mak!"
"Pokoknya, elu jangan pulang ke mari, kalau elu belum berubah."
"Emak, jahara ... eyke benci sama Emak ...."
Marji berlari ke luar, sambil membawa tasnya.
"Marji, tunggu Emak, Tong! elu kagak mau cipika-cipiki Emak lu dulu?" pekik emak sambil mendekati Marji.
"Bang Bagas ayo kita ke kota sekarang," ucap Marji sambil menarik lengan Bagas.
"Ta--tapi, Mas. Kasihan ibu Zubaidah, tuh. Dari tadi manggil-manggil."
"Udah, ayo cepet, Bang! sebelum eyke berubah pikiran."
"O--oke, Mas. Ya sudah kita pergi sekarang. Bu Zubaidah saya pamit dulu, ya."
"Iya, Den. Emak titip si Marji ya."
"Iya, Bu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam ... hati-hati lu pada."
Emak terdiam di depan pintu, menatap Marji masuk ke dalam mobil, tanpa menolehnya. Tak lama mobil yang di kendarai Marji melaju pergi.
"Emak harap elu bisa berubah, Tong!" desis emak sambil mengusap air matanya, yang sejak tadi merembes.
****
Kira-kira empat jam perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, membuat Marji tertidur. Matanya terlihat merem ayam, mulut terlihat mangap mengeluarkan iler, badannya tersangga oleh sabuk pengaman.
"Mas Marji, bangun Mas ... kita sudah sampai, ni."
"Hemmh?" Marji membuka kelopak matanya pelan, kemudian merentangkan kedua tangannya menggeliat mengumpulkan nyawanya, dan segera menyeka iler yang sejak tadi meleleh, "sruppp ..." ia tak sengaja menyedot ilernya sendiri.
Bagas bergidik geli, jijik melihat kebiasaan jorok Marji.
"Udah sampai ya, Bang?" Marji mengintip ke arah kaca mobil, di lihatnya rumah di depannya yang terlihat mewah nan megah, "Kok kita ke sini, Bang? ini kan istana negara. Bukannya kita mau ke rumah Babeh eyke?"
"Itu bukan istana negara, Mas. Rumah itu, adalah rumah pak Broto. Papahnya Mas Marji."
"Apa? OMG ...."
Mata Marji terbelalak sambil mulut menganga.
.
.
Bersambung ....

KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Panggil Aku Banci
Fiksi RemajaMarji seorang laki-laki yang memiliki naluri seorang perempuan. Ia terlahir dari keluarga miskin yang serba kekurangan. Tapi rupanya setelah dewasa nasibnya beruntung, karena masih mempunyai seorang ayah kaya raya, yang menjadikan hidupnya berubah.