Part 16

776 41 22
                                    

Marji merasakan sesuatu yang tercium dari arah hidungnya seperti bau aroma Terapy. Kemudian membuka kelopak matanya.

"Alhamdulillah ... Mas, kamu sudah sadar," ucap Nayma yang duduk tepat di samping Marji, kemudian menyimpan botol minyak kayu putih di atas nakas.

"Aku ada di mana ini?"

"Kita masih di rumah ibu, Mas."

"Banci itu--"

"Mbak Beti maksud kamu, Mas? sewaktu kamu pingsan, mbak Beti terlihat sedih sekali, dan dia bilang dia akan menemui Mas lagi, tapi tidak akan berdandan banci seperti tadi."

"Hmm ... mending tuh banci nggak usah balik lagi lah," jawab Marji sedikit kesal.

"Jangan gitu, Mas. Walau bagaimanapun mbak Beti itu kan dulunya sahabat, Mas. Dia sampai rela pergi, karena takut Mas liat dia terus pingsan lagi. Memangnya apa yang terjadi sih, Mas? kok setiap melihat banci, Mas seperti ketakutan."

Marji terdiam sesaat. Kemudian duduk, tatapannya terlihat datar, menerawang ke arah jendela.

"Sebenarnya, dulu saat aku tertidur, orang-orang menyangka aku mati. Di dalam tidurku datang sosok makhluk besar yang memakai serba putih dan satu lagi makhluk berdandan seperti banci. Kedua makhluk itu menarikku, sebelah kiri di tarik oleh seorang banci mengajak aku ke sebuah lorong yang amat menyeramkan, dan mahluk satu lagi, menarik tangan kananku, dia mau membawa aku ke sebuah lorong yang terpancar sinar. Kala itu, aku hampir saja tertarik oleh banci itu, dan hampir terperosok kedalam lorong yang mengerikan, terdengar teriakan orang menjerit-jerit seperti kesakitan. Tapi untung saja mahluk yang berdandan serba putih itu langsung menarikku kembali, hingga tiba-tiba aku tersadar dan bangun. Tak tahunya aku sudah berada di dalam keranda dan memakai kain kafan. Hidungku terasa sesak karena di tutupi kapas, makannya saat itu aku menjadi terbatuk-batuk. Maka dari itu, setiap kali aku melihat banci, bayangan di dalam mimpi burukku itu selalu muncul."

"Oh, aku mengerti sekarang, Mas. Pantas saja kamu terlihat ketakutan seperti itu, jadi itu sebabanya."

Tak lama kemudian, emak muncul dan berkata, "Tong, elu udeh sadar? mending kita makan bareng, nyok? Emak sudah masakin kesukaan lu, tuh, semur jengkol."

"Semur jengkol?" tanya Marji bingung.

"Iye, sayur jengkol. Apan entuh masakan kedoyanan lu, Tong. Nyok kite makan bareng."

Emak segera ke dapur, mengambil nasi, sayur jengkol, ikan peda, krupuk , dan yang lainnya. Nayma mengekor emak dari belakang, dan membantu membawa satu persatu menu.

Tikar di gelar di ruang tengah, kemudian emak memanggil Zuki, Mail dan Tisna untuk makan bersama.

****

Hari sudah semakin sore, Nayma dan Marji pamit kepada emak bermaksud hendak pulang.

"Tong! elu jangan pulang dulu, napa! Emak masih kangen sama elu, Ji."

"Saya masih banyak kerjaan, Mak. Besok saya harus kerja lagi."

"Apan besok entu hari minggu, masa elu masih kerja terus."

"Emmh, ini Marji ada urusan mendadak, Mak," jawab Marji bohong.

"Oh ... begono ya, Tong. Ya udah deh kalo begitu, elu pada hati-hati ye. Elu juga Neng, jaga kandungan lu, itu calon cucu pertama Emak. Entar kalau udeh lahir, Emak buatin jamu khusus buat lu, ya, Neng! jamu elol empot. Hihi ..." desis emak pelan sambil cengengesan.

Nayma hanya tersenyum, ia tidak mengerti jamu apa yang di sebutkan mertuanya itu.

"Oh ya, Mak. Ini ada uang buat bekal Emak sehari-harinya ya. Emak nggak usah capek kerja lagi. Nanti bulan depan Bang Bagas ke sini lagi untuk memberikan uang bulanan buat Emak," ucap Marji sambil mengeluarkan amplop tebal, di saku celananya.
"Terima kasih ye, Tong!" ucap emak sambil mengambil amplop.

Jangan Panggil Aku BanciTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang