33. Hope

2K 303 19
                                    

































Soetta International Airport

Gue bingung pas nyampe Jakarta banyak wartawan yang nunggu di pintu kedatangan. Kayanya berita tentang Mark udah sampai di Indonesia dan cukup heboh. Sampe-sampe wartawan lokal ngepoin kita yang baru aja sampe. Ibu sama Ayah Mark gak nganter sampai Jakarta. Tapi di sini gue langsung dijemput sama orang tua gue, sebelumnya gue emang udah ngabarin.

"Pegang tangan aku." Bisik gue ke Mark.

Gue sama dia jalan pelan-pelan ngelewatin para wartawan.

Di taksi kita sama-sama diem. Mark duduk di samping gue tanpa suara. Gue natap dia, dengan hati-hati gue ngelepas kacamata hitam Mark. Seperti kemarin-kemarin. Tatapannya kosong, tapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya berkaca-kaca, iya Mark nangis. Gue menyeka air matanya perlahan.






































Sesampainya di rumah, gue sama Mark langsung ke kamar buat istirahat. Gue juga belum cerita lagi secara langsung sama orang tua gue. Mereka maklumin gue sama Mark sama-sama cape baru sampe. Kemarin ibu gue sempet sedih dan agak kesel sama Mark. Tapi gue coba kasih pengertian kalau Mark gak sepenuhnya salah.

Mark duduk di tepi kasur, setelah gue nutup pintu kamar gue langsung nyamperin dia. Perlahan gue duduk di sampingnya.

Sejujurnya perasaan gue masih campur aduk banget, hati gue masih sakit mengingat anak gue sama Mark udah gak ada. Di satu sisi gue sendiri sedikit marah sama Mark. Karena mungkin anak gue masih bisa selamat kalau Mark gak dorong gue. Tapi di satu sisi lagi gue paham kemarin Mark itu gak sengaja, dia lagi emosi dan pikirannya kacau.

Tanpa sadar gue mulai nangis. Gue nutup mulut gue, berusaha nahan suara tangis gue. Gue gak mau sampai Mark denger. Tapi kayanya usaha gue sia-sia.

"Laila..." Panggil Mark. Dia mencari-cari gue.

Setelah nemuin tangan gue, dia genggam erat kedua tangan gue. Tangis gue makin pecah, gue gak tau kenapa.

"Laila... Jangan nangis..."

Percayalah betapa sesaknya dada gue ngeliat Mark yang begini. Kantung matanya sedikit menghitam, karena dia susah tidur kalau malem. Matanya yang kosong, mengingatkan gue kalau sekarang dia gak bisa liat gue.

"Maafin aku Laila... Ini semua terjadi gara-gara aku." Mark menangkup kedua pipi gue. Ibu jarinya mencoba menyeka air mata gue.

Gue menggeleng pelan sambil berusaha agar tangis gue berhenti. Tapi tetep gak bisa.

"Kalau aja aku gak dorong kamu, pasti anak kita masih hidup..."

"Aku ayah yang jahat, aku ngebunuh anak kita..." Gue liat sebulir air jatuh dari pelupuk matanya.

Gue genggam kedua tangan Mark yang sekarang ada di pipi gue.

"Nggak... Nggak Mark..." Sahut gue gemetar. "Udah... Cukup... Aku ikhlas, insya allah aku akan ikhlas."

"Aku butuh kamu Mark. Aku butuh kamu buat ngelewatin semua ini, jadi berhenti nyalahin diri kamu sendiri, berhenti ngehindarin aku." Gue narik tubuh dia ke pelukan gue. Suara tangis Mark kedengeran jelas banget di kuping gue.

"Aku sayang sama kamu..."

"Aku juga sayang sama kamu Laila..." Sahut Mark.

"Hanya bersama kamu aku mau menghabiskan umur aku. Gak ada yang lain." Kata Mark. Dan itu berhasil membuat tangis gue makin menjadi.

TIMELESS | Mark Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang