17. Sia-sia

2.6K 440 72
                                    

















































Dari tadi gue liat Mark banyak diem, gak tau kenapa. Pandangannya juga keliatan kosong. Wajahnya murung. Sejak dia balik dari gereja dia jadi diem gini. Bingung sendiri gue, apa ada yang salah?

"Kamu kenapa?" tanya gue.

"Gak apa-apa." jawab Mark kemudian tersenyum getir.

Ngeliat dia diem jadi bikin gue khawatir dan kepikiran terus. Takutnya ada omongan gue yang bikin dia kaya gini. Gue meleng sampai gue gak sengaja kesandung dan jatoh. Sakitnya gak seberapa, malunya itu loh.

"Laila!" Mark kaget dan langsung nundukin badannya maksud untuk menolong gue.

















Deg!




















Sesuatu berwarna perak meluncur keluar dari kerah bajunya. Kalungnya terjuntai. Oke, sekali lagi dunia menyadarkan gue. Kalung salib Mark seolah menampar gue untuk sadar. Mark keliatannya sadar kalung dia keluar, dia pun buru-buru memasukannya lagi kedalam kerah baju. Gue akhirnya bangun sendiri. Susah payah gue nahan air mata gue.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Mark yang cuma gue balas dengan anggukan.

"Mark..." panggil gue ragu.

"Iya?"

"Kayanya kamu lebih baik pulang."

"Kenapa?"

Gue cuma nundukin kepala.

"Lebih baik, daripada semuanya semakin rumit."

"Laila..." panggil Mark lirih.

"Kamu juga kan sibuk, cukup kan liburannya? Hehe." Gue natap dia.

"Kenapa tiba-tiba kamu kaya gini?"

"Gak apa-apa." Balas gue.

"Kalau bohong itu dosa, kenapa kamu selalu bohongin perasaan kamu sendiri?" Tanya Mark yang sukses bikin gue mau nangis.

"Aku gak pernah bohong soal perasaan aku ke kamu. Tapi kenapa kamu selalu bohong?"

Gue lagi-lagi cuma bisa diem denger pertanyaan-pertanyaan Mark yang rasanya nusuk hati gue.

"Setidaknya sekali, sekali aja cukup buat aku. Tolong jujur sama aku soal perasaan kamu." Mark natap dengan tatapan penuh harapan.

"Mark..." Gue menggeleng pelan.

"Please."

"Oke..." gue manarik napas dalam-dalam.

"Kalau memang iya aku punya perasaan sama kamu juga akan sia-sia." ujar gue lirih. Mark natap mata gue lurus-lurus.

"Belum tentu." Sahut Mark.

"Mark, aku rasa ini udah cukup. Bahkan sampai detik ini gak ada perubahan kan diantara kita? Meski  jalan bareng kaya gini, tetep aja kaya ada tembok besar diantara kita." satu tetes air mata gue lolos.

"Tapi kita punya perasaan yang sama. Kita—"

"Maaf, ini bukan masalah perasaan, tapi perbedaan. Iya, perbedaan diantara salibmu dan tasbihku." Ujar gue.

Mark diem denger omongan gue. Dia menghembuskan napasnya berat.

"Rasa ini nyiksa aku Mark. Jadi aku mutusin buat berhenti, aku juga pingin kamu berhenti. Hidup kita akan lebih baik tanpa perasaan konyol ini."

TIMELESS | Mark Lee✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang