THREE

8.4K 1.5K 70
                                    

Hello. Kali ini kita sampai pada bagian ketiga cerita Ayah Untuk Mara. Aku sangat berterima kasih jika teman-teman mau meninggalkan komentar, sekadar untuk menyapaku atau apa. Dan aku berusaha membalasnya satu per satu. Aku senang kenal dengan teman-teman baru. Siapa saya yang membaca ceritaku, akan kuanggap sebagai temanku. Jika kalian suka membaca cerita ini, ajak teman kalian untuk membaca. Jika tak suka, silakan dilihat cerita lain yang kutulis, siapa tahu suka.

Love, Vihara

(IG/TWITTER/FB/LINE ikavihara)

***

Edna duduk di teras belakang bersama mertua Elma sambil mengamati Mara yang sedang bermain air di inflatable kiddie pool, lengkap dengan seluncuran dan pelangi melengkung di salah satu sisinya. Sengaja Edna membawa banyak mainan Mara saat berkunjung ke sini, agar Mara betah di rumah kakek dan neneknya.

"Terima kasih sudah membesarkan Mara, Edna. Tante tidak tahu bagaimana jadinya kalau tidak ada kamu. Tante sudah ketinggalan zaman untuk membesarkan anak. Dengan segala kemajuan teknologi, Tante yakin tidak akan bisa mengimbangi. Alesha ... kamu tahu sendiri dia tidak punya cukup kesabaran untuk itu."

"Saya bahagia diizinkan tinggal bersama Mara. Satu-satunya keluarga saya...." Edna tidak tahu harus tersenyum pahit atau bahagia. Dalam waktu bersamaan, keberadaan Mara merupakan anugerah sekaligus pengingat bahwa Edna sudah tidak punya siapa-siapa lagi.

"Omong-omong soal keluarga, berkeluarga, apa kamu punya teman dekat? Laki-laki?"

Edna menggeleng. "Beberapa tahun ini saya masih bersama Mara saja."

Dalam kata lain, Edna belum punya waktu untuk bertemu laki-laki yang bisa membuatnya jatuh cinta. Waktunya sudah habis untuk mengurus bakery dan anaknya. Siapa yang tahu menjadi orangtua tunggal bisa sangat melelahkan seperti ini? Tenaga Edna sudah tidak ada lagi untuk menghadapi laki-laki. Atau karena dia sudah pernah jatuh cinta dengan laki-laki yang sempurna di matanya dan tidak ada laki-laki lain yang bisa melewati standar yang terpatri dalam benaknya.

Untuk berkencan, Edna tidak tahu harus memulai dari mana. Setiap keluar rumah, dia selalu bersama Mara. Laki-laki yang melihatnya pasti berpikir dia adalah seorang istri dan ibu yang bahagia, dengan suami tercinta menunggu di rumah, lantas enggan mendekatinya. Lagi pula, Edna tidak punya orangtua dan tidak dekat dengan keluarga jauh orangtuanya. Sehingga dia santai saja, tidak ada yang ribut menanyai kapan menikah.

"Kalau Tante ... mengenalkan laki-laki baik padamu, Edna, apa kamu mau mempertimbangkan? Tante yakin seratus persen dia tidak keberatan dengan Mara."

Edna tertegun sesaat mendengar pertanyaan nenek Mara. Banyak wanita muda yang masih sendiri, kenapa harus menikah dengan yang sudah punya anak? Bukankah lebih menyenangkan memulai pernikahan berdua saja? Lebih banyak waktu untuk berbulan waktu dan sebagainya?

"Saya ... belum terpikir untuk menikah...."

"Bukan Tante meragukan kemampuanmu membesarkan Mara. Kamu ibu terbaik yang bisa dimilikinya. Tapi tetap saja, Mara perlu punya ayah. Dan keluarga yang utuh."

Edna termenung. Memang dia bisa memberikan apa saja kepada Mara. Kecuali cinta dan kehadiran seorang ayah. Tetapi bukankah lebih baik tidak punya ayah daripada tinggal bersama ayah yang tidak mencintainya?

"Saya nggak tahu apa akan ada laki-laki yang tepat untuk kami. Saya nggak sendiri, Tante. Saya bersama Mara juga." Tidak, sama sekali tidak pernah Edna menganggap Mara sebagai beban. Mara adalah hadiah dan anugerah terindah dari Elma untuknya. Suaminya, jika suatu saat Edna bisa bertemu dengan laki-laki baik, dia berharap laki-laki tersebut mempunyai pandangan yang sama. Tidak menganggap Mara hanya sebatas satu mulut tambahan yang harus diberi makan. Tetapi seorang anak yang wajib dicintai.

THE GAME OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang