Karena memang akan ada cerita yang terlupakan, namun banyak juga yang memilih disimpan dalam-dalam untuk menunggu sebuah cuplikan ingatan.
Seketika tangan Gia terhenti. Kaku.
"Hai Gi"
Kepala Gia terangkat. Inilah yang dihindarinya. Gi. Gi dari mama berbeda dari Revan. Tapi tetap saja dua huruf itu selalu menjadi ciri khas dari Revan.
1
2
3
4
5
Butuh 5 detik Gia tersadar. Orang yang tadi berdiri di dekat pintu sudah berjalan untuk duduk.
"Silahkan duduk pak. Maaf saya kurang sopan menyilahkan bapak duduk padahal bapak sudah duduk"
"Lebih gak sopan kalau kamu bersikap kita seperti gak pernah kenal."
"Kopi atau teh pak?"
"Kamu lebih tau aku suka apa"
Gia meminta Anggi menyiapkan segelas kopi dengan gula hanya satu setengah sendok.
Kopi hitam dan teh diatas meja itu menjadi saksi bisu atas kebisuan di ruangan itu. Gia masih saja menatap teh nya dengan tatapan kosong, masih tak percaya hari ini menyediakan banyak kejutan untuk hidupnya.
Revan Danendra. Laki-laki yang berusia 28 tahun, yang selama 9 tahun belakangan selalu ada dipikirannya, yang bayangannya selalu Gia tepis, kini ada didepannya, melihatnya. Jantung Gia berdetak tak karuan, seperti sudah berlari ribuan kilometer. Diusia nya yang sudah menginjak angka 27 bisa seperti anak remaja labil, hanya karena masa lalu yang sekarang duduk didepannya.
"Kamu baik?"
Gia mencoba untuk menaikkan garis bibirnya.
"Baik Pak. Ada tugas saya yang tidak clear Pak?"
"Maaf dan Terimakasih." Hening. Kening Gia berkerut.
"Maaf karena aku gak datang pada saat itu. Dan terimakasih masih ingat bahwa aku masih suka kopi dengan gula satu setengah sendok, Gi. Aku sehat Gi kalau kalau kamu enggan bertanya. Dan.."
"Maaf Pak, saya tidak mengerti apa maksudnya, maaf kalau saya kurang sopan. Tapi saya punya jadwal setengah jam lagi."
"Dan kamu masih saja buruk soal berbohong Gi, kamu masih sama dengan Gi-nya aku walaupun sudah hampir satu dekade yang lalu", Lanjut Revan. "Aku datang Gi."
Gia tercekat. Mendadak udara sulit dicari ketika dia ingin bernafas.
"Karena Gi, gak ada satu hari pun aku lewati tanpa memikirkan apa yang bisa terjadi kalau pada hari itu aku datang. Aku harap gak akan pernah terlambat, that's why I come to you"
Pintu ruangan terbuka,
"Sorry Nya, saya masuk. Saya butuh laporan Quartal pertama yang sudah diserahkan kantor cabang. That's have been so long. Cerita kalian sudah lama, itu maksud saya. Jadi sekarang bisa kamu kerjakan tugas kamu Anya?"
Tyo yang sebelumnya datang keruangan sepupunya itu kalut ketika tidak mendapati sepupunya diruangan sebesar ruangannya.
"Dan Van, apa harus kamu pindah keruangan yang lebih besar biar kamu gak ganggu ruangan kecil di gedung saya?"
Revan tersenyum sinis.
Gia menunduk.
"Ini masih gedung perusahaan Oma. Not yours". Revan bangkit. "Kita masih punya banyak waktu. Aku balik ya Gi".
Hari itu ternyata bukan salah satu hari terbaik dalam bulan itu untuk Gia. Semua dengan mudah berbalik dari ekspektasi nya. Kesal. Dia kesal karena dia masih saja tidak bisa melakukan apa-apa. Semua begitu buruk. Sangat-sangat buruk karena dengan mudahnya seorang Revan kembali hampir berhasil menenggelamkan kapal yang berisi seluruh pertahanan Gia.
"Sorry lama. Aduh emang bener deh Kak Ken gak ngizinin gue banget keluar."
"...."
"Lo ngapa dah? GIA!!!"
"Haa? Teriak teriak banget ke gue Bree, giliran ke Dgyta aja sok jadi korban"
"Yee ngapain ke Digi sih larinya"
"Jadi apa yang mau diceritain nih? Pendengar deh gue"
"No. Gue tadi ketemu anak dirumahsakit masih 8 tahun tapi udah pinter banget ngantri didepan ruangan dokternya. Masih 8 tahun, tapi kasian udah ditinggal Mama nya. Jadi dia itu punya alergi gitu kan, seminggu ini dia sakit, tapi dia selalu ditemenin Omanya. Kasian kan."
"Yaudah elo jadi mamanya aja kalau begitu"
"Sembarangan. Gue suka ke anaknya bukan berarti bapaknya mau gue nikahin. Apa yang bakalan Kak Ken bilang,"
"Ya bagus lah dia dapaat keponakan nya express"
"Hahaha yakali. Gue ini jadi dokter anak emang gue suka aja, ya harus professional dong. Ngawur namanya kalau karena gue kasian sama anak itu terus nikah sama bapaknya."
"Yaudah iyain si Digi lah kalau begitu"
"Soal itu gue gatau deh, Digi itu orangnya harus diajarin usaha kalau mau dapet apa yang dia pengen. Bukannya usaha dan sabar, eh malah over. Beda benget sama Kak Ken"
Gia terdiam.
"Kok lo diem sih?"
"Ya elo bandingin Digi ke Ken, pasti bedalah, kalau lo mau Ken ya gabisa, cuman Ken yang begitu. Lagian Ken udah gak available"
"Ya gak mungkin gue incest. Aduh apasih lo becanda ajadeh."
"Kalian udah bicarain nikah, belom?" Lanjut Bree.
Gia terdiam.
"Elo gimana?"
"Digi sih udah bilang ke gue. Gue nya belum yakin, lagian gue dulu udah janji ke diri gue, karena gue sadar gue itu adik Kak Ken, ya dia dululah. Makanya buruan lo, keburu gue."
"Elo aja dulu, gapapa. Gue yang ngomong ntar ke Ken."
"Loh, gabisa gitu dong. Lo kenapa? Cerita!"