Pemeran utama hati, pemicu detak jantung ini baru kini kusadari setelah kau tinggal pergi.
Itu kamu.
-Raisa-"Dia adalah orang yang aku ceritakan ketika SMA Gia,"
Gia mengerutkan keningnya tak paham. "Maksudnya?"
"Ken adalah Gani. Maksud aku... Gani yang pernah aku ceritakan ketika SMA di lapangan basket dipanas terik ketika bola Revan terguling didekat kaki kamu." Clay menghela nafas "Dia Gani bukan dengan i tapi dengan 2 e (re:dalam bahasa Inggris e dibaca i)."
"Kenio Ganee Widjaya, maksud aku" lanjut Clay.
Gia masih tidak paham bagian mana sebenarnya yang harus digarisbawahi. Dia tau nama lengkap Ken, dia juga masih ingat dengan jelas bagaimana bola Revan sampai kepada bawah kakinya, lalu apa sebenarnya yang harus dia tangkap.
"Apa sebenarnya yang coba kamu jelaskan? Seperti yang kamu bilang kita tidak begitu dekat, menurutku ini bukan sesuatu hal yang akan diceritakan kepada orang yang tidak begitu dekat. Nama Ken, bola Revan? Aku tidak paham"
"Ah aku lupa, untuk menambahkan bahwa Gani yang aku ceritakan itu adalah orang yang aku suka."
Gia melebarkan matanya dan terkejut.
"Maka dari itu Gia, kamu sudah dapat Revan sejak kamu SMA. Dan menurut sepupu aku yang juga temannya Tyo sahabat kamu, kamu dan Revan masih saling menyimpan rasa. Am I wrong?"
"Jelas kamu salah." Gia membantah.
Sekarang Gia paham bahwa perubahan sikap Risa teman sebangku tiga tahunnya itu dikarenakan karena rasa sukanya kepada Ken yang sekarang adalah pacar Gia sendiri. Semesta memang sebercanda ini.
"Correct me then"
Gia menelan kasar air liurnya. Dan dengan pelan meminum air dalam gelas yang sejak tadi menjadi saksi bisu percakapannya dengan Risa.
"In the fact, aku dengan Ken sekarang"
Risa tersenyum sinis "Kamu tetap saja seperti itu ya Gia. Egois" tekan Risa sebelum melanjutkan.
"Ketika SMA dulu sampai sekarang. Pacaran dengan Revan sementara Tyo hanya bisa sabar menekan perasaannya sendiri ketika orang yang disukainya pacaran dengan sepupunya sendiri" Risa menatap Gia dalam.
"...dan sekarang kamu juga egois mengatakan bahwa kamu dengan Ken sementara Revan datang kepada kamu dan kamu tidak tegas dengan perasaanmu. Kamu mau tanya aku tau darimana kali ini? Ken."
Gia kembali terdiam. Sejak kapan Ken dan Risa saling bertukar cerita-pikirnya.
"Kamu hanya menyakiti Ken diatas perasaanmu. Don't be ridiculous, Gia. Lalu...bisa aku juga egois sekarang? Aku akan memastikan bahwa Ken dapat bahagia meski tanpa kamu"
"Risa,, sejauh mana kamu tau"
"Bisa aku jawab dengan 'semuanya'?" Risa tersenyum "Dan tadi malam aku dengan Ken. Melihat Ken yang seperti itu hanya karena kamu, itu sangat menyakiti aku Gia. Jadi, daripada menyakiti banyak orang, bukannya melepaskan yang setengah kamu genggam akan lebih mudah?" tanya Risa sarkas.
"Melihat dia yang seperti itu? Seperti apa maksud kamu?"
Risa kali ini tertawa, "Bahkan kamu tidak tau akibat dari perlakuan kamu tadi malam? Bisa kita tidak usah berputar-putar Gia? Aku harus meminta izin mengambil dia dari kamu? Aku rasa kamu cukup sadar bahwa aku lebih lama menyukainya. Sejak SMA, Gia. Aku sudah pasti lebih pantas berbagi kebahagiaan bersama Ken daripada kamu yang hanya bisa menyakitinya"
Risa menatap Gia tajam.
"Aku rasa sudah jelas. Kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan kan Gia? I'm sorry to say this karena aku lebih memilih berkata as a woman with her class daripada harus diam diam dan mencuri Ken dari kamu."
Risa sudah pergi sekitar berbelas menit yang lalu, namun Gia masih saja tenggelam dengan pikirannya.
Harus bagaimana aku, biar kamu bahagia Ken?
Setelah itu Gia bangkit dan menghubungi sekretarisnya bahwa Gia tidak kembali ke kantor karena harus mengantar mamanya ke bandara yang akan terbang menuju Yerusallem.
"Papa sama oma mau nyusul 3 hari lagi ma?"
"Iya. Kata papa kamu, oma sudah rindu sama mama jadi mau nyusul"
"Sejak kapan oma rindu?"
"Rindu dalam artian Oma kamu itu adalah rindu yang lain Gi. Rindu untuk mewawancarai mama tentang kamu"
Mama Gia menatap Gia yang terdiam.
"Oma kamu itu sayang sekali sama kamu. Kamu juga harusnya begitu"
"Oma itu nyebelin sejak aku kecil ma"
"Ya itu cara dia sayang Gi" Mama Gia kembali menatap Gia "Ken gak anterin mama?"
"Sibuk ma" Gia menghindar dari pembicaraan.
"Gi, kamu itu pemeran utama di hidup kamu"
"Iya ma, mama udah berulang kali bilang itu sama aku dari kecil. Itu alasan biar aku bahagia dan fakta bahwa aku berharga kan?" Gia tersenyum.
Mama Gia mengangguk sebelum melanjutkan "Sekarang, boleh mama tambahkan?"
Gia menatap mamanya.
"Kamu pemeran utama dalam hidup kamu, tapi didunia ini banyak orang dan tidak akan hanya berpusat pada kamu Gia."
Gia mengernyit tidak mengerti
"Kamu pemeran utama dalam hidup kamu. Namun di dunia ini banyak orang yang mana semua orang pemeran utama dalam hidupnya masing-masing. Dan pemeran utama dalam dunia ini juga ingin bahagia, jadi kamu..." Mama Gia mengambil jeda, "jangan sakiti orang lain yang juga ingin bahagia. Karena orang lain itu juga pemeran utama Gi, karena Gi... seseorang yang berhak bahagia dan seseorang yang berharga tidak akan melakukan itu, tidak akan menyakiti hati orang lain."
Gia mengerti perkataan Mamanya. Dan kembali tertampar dengan pembahasan perihal jangan menyakiti orang lain. Yang Gia dengar seakan kalimat jangan menyakiti Ken.
Besoknya adalah hari yang berat. Setelah Gia menyelesaikan meeting dengan beberapa petinggi di perusahaan yang akan menyediakan layanan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi para karyawan, Gia juga akan meeting dengan team divisi nya serta pimpinan perusahaan untuk membahas tingkat saham dan rencana pelaksanaan RUPS dalam waktu dekat.
Setelah itu, Gia baru dapat makan siang setelah jam 3 sore. Makan siang dengan team divisi nya di suatu restaurant yang dekat dengan kantor.
Awalnya makan siang itu diisi dengan obrolan santai yang membahas grup whatsapp yang berisi celotehan tentang Perang diantara Pesepupuan. Ada yang mendukung Tyo dalam hal memimpin, ada juga yang di pihak Revan karena Revan dinilai lebih mencerminkan defenisi tampan yang sebenarnya.