Decision

1.1K 189 45
                                    

Hello~ aku kembali. Makasih banyak untuk dukungannya💕💕💕


Happy reading!^^



~°~°~



Aku mengembuskan napas berat, melirik ke atas ... berusaha menahan air mataku agar tak jatuh. Kemudian aku menunduk, menatap tumpukan pakaian dan buku di dalam koper yang siap ditutup.

Tanganku perlahan menyentuh bagian perut. Luka yang berusaha kututupi lagi-lagi terbuka. Rasanya seperti disayat-sayat dengan ujung belati. Tak terlalu dalam namun lebih kejam dan perih.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya.

Aku tidak tahu keputusanku benar atau salah, baik atau buruk.


Tidak ... ini jelas buruk. Tapi, setidaknya kuharap ini benar.

"Apa kau benar-benar yakin?"

Aku langsung menolehkan kepala ke arah ranjang. Tempat di mana Aera Eonni mengawasi dan juga menemani diriku yang sibuk berkemas sejak pagi hari sampai kini matahari hampir berganti tugas dengan bulan.

Ia menatapku dengan tatapan yang sama dengan pagi tadi ketika aku memberitahukan keputusanku, tak setuju dan tak rela. Tapi, ia sama sekali tak berkomentar atau mencegahku. Ia hanya terus mengutarakan pertanyaan yang sama, soal keyakinanku. Dan aku yakin seratus persen bahwa ini adalah tindakan yang benar. Setidaknya untuk sementara waktu.

"Aku memang harus pergi ... Eonni," sahutku dengan senyuman tipis.

Ia menghela napas kemudian menjatuhkan dirinya di ranjangku. Ia menghadap ke arahku, keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut. "Kau tidak tiba-tiba pergi karena aku, kan? Kau bukan pergi karena tidak betah tinggal denganku, kan?"

"Eonni, kalau aku tidak betah tinggal berdua denganmu maka aku takkan kuliah di sini sejak awal," sahutku lembut. Berusaha menenangkannya meski aku kembali berkutat pada kegiatanku untuk mengemas barang. Tapi, kalimat lanjutan yang ia lontarkan justru membuatku tak tenang.

"Apa ini karena Minho?" Pergerakanku terhenti. Tetapi aku sama sekali tak melirik ke arahnya. "Apa yang telah ia lakukan padamu? Aku akan menghajarnya jika memang keterlaluan. Dia memang sahabatku, tapi kau adikku. Jika dia salah maka aku akan mengingatkannya."

Aku menghela napas. Hatiku sudah terlalu sakit, aku enggan berurusan dengannya lagi. Itulah kenapa aku memutuskan untuk kembali ke London. Kembali menata hidupku yang berbeda di sana. Kembali tinggal lebih dekat dengan orang tua dan jauh dari sahabat terbaik juga kakakku di sini.

"Dia tidak melakukan apa pun. Aku menerima keputusannya secara sadar. Dia tidak sepenuhnya bersalah. Aku juga tak berusaha memperbaiki," sahutku kemudian menunduk. Aku kembali menyentuh perutku yang masih datar. Mulai merasa bersalah padanya karena aku tidak berusaha lebih keras.

"Kenapa kau tidak memperbaikinya?"

"Mungkin, memang sudah waktunya berpisah," ujarku pelan tetapi cukup untuk didengarnya di kamarku yang sepi.

Setelah cukup lama terdiam, Aera Eonni menghela napas. Ia kemudian merubah posisinya menjadi duduk.

"Sejak kemarin kau memegangi perutmu terus. Apa kau sakit?"

Aku menggeleng pelan, semakin berusaha menahan air mataku. "Hanya sedikit mual dan tidak nyaman." Kuharap eonni tak menyadari perubahan intonasiku.

Cruel Destiny [Stray Kids Imagine Project]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang