Regrets

1.2K 216 94
                                    

Yuhu~

Ayem bek ❤️


Happy reading!^^



~°~°~



"ERIC! I'LL KILL YOU!"

"DON'T TALK! JUST DO IT!" Setelah mengucapkan itu, Eric tertawa keras. Ia berlari sekuat tenaga mengitari pekarangan rumah neneknya. Benar-benar kurang ajar, sudah mengerjaiku dengan menyalakan sirine darurat dan membuatku spontan terbangun, sekarang kabur.

Ahh, sekadar informasi aku baru saja bermalam di rumah neneknya Eric. Ia mengajakku berkemah sebenarnya, tapi tendanya tidak bisa dibangun jadi kami mengungsi kemari. Ahh, dan aku punya beberapa urusan juga di sini. Keluarga mereka sudah menganggapku keluarganya juga.

Belum sempat menangkap Eric, ponselku yang diletakkan di dalam saku celana berdering. Mau tak mau aku menghentikan langkahku dan mengangkat telepon yang masuk.

"Hello?"

"Ini aku."

"Ohh ..." aku memutuskan untuk duduk di tangga kecil menuju teras, "aku tidak melihat namamu di layar."

"Kau pasti mengangkat teleponnya sembarangan. Kalau penipu bagaimana?"

"Tinggal tipu balik."

Aku tersenyum lebar ketika terdengar suara helaan napas dari seberang sana. Aku memutuskan untuk meninggalkan Eric yang entah berlari ke mana dan kembali ke dalam, ke kamar yang kutempati semalam. Ohh, dan tidak lupa mengunci pintunya.

Aku merebahkan tubuhku di ranjang yang empuk. Mataku menatap lampu gantung kaca yang ada di langit-langit.

"Kau sudah makan?"

Aku menghela napas dan memutar bola mataku. "Setiap kali menelepon selalu pertanyaan itu yang kau tanyakan. Tidak ada yang lain?"

"Makan adalah hal paling penting," sahutnya. "Ngomong-ngomong, lihat layar ponselmu. Aku mengganti panggilannya menjadi panggilan video."

"Ohh ...." Aku menyingkirkan ponsel dari telinga dan mengaktifkan mode panggilan video. Bibirku otomatis mengulas senyum ketika melihat wajah lelah Changbin yang tengah duduk di studio musik miliknya. Ia tersenyum dan melambaikan tangan, membuatku langsung membalasnya. Ia mengenakan kaus tak berlengan berwarna abu-abu dan topi hitam, sangat santai sekaligus menarik.

"Kau tampak lelah," ucapku. Ia mengangguk dan menyahut, "Memang. Maka dari itu aku meneleponmu."

Aku terkekeh pelan dan bergerak menyamping. "Wae? Harusnya istirahat."

"Entahlah," Changbin menggaruk tengkuk, "sepertinya melihatmu menambah energi. Ideku sempat tersendat dan orang pertama yang terpikirkan untuk kuhubungi adalah kau. Mungkin karena aku terbiasa melakukannya dua tahun ke belakang."

"Ahh, sudah dua tahun ya," ujarku.

Changbin tersenyum lebar. "Tidak terasa ya? Waktu berlalu sangat cepat. Rasanya seperti baru mengenalimu kemarin, padahal sudah enam tahun."

Aku mengangguk pelan. Senyuman miris tergurat di wajahku tanpa bisa kucegah. Ingatan-ingatan mengerikan dari dua tahun lalu bermunculan di kepalaku. Satu per satu membuka luka lama, menorehkan luka-luka baru ketika membayangkan apa jadinya aku jika semua kejadian buruk itu tak menimpaku. Apa sekarang aku masih di Korea, tengah bergurau dengan mereka semua dengan pelukan hangat di pinggangku? Apa aku akan menghadiri upacara kelulusan dengan bahagia, membandingkan nilaiku dengan Seungmin dan mengadakan taruhan dengannya?

Cruel Destiny [Stray Kids Imagine Project]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang