Dua belas

3.2K 133 5
                                    

"Lo udah lumayan lama tinggal di Semarang tapi nggak pernah ke pusat perbelanjaannya?"

Hari ini Mina menepati janji untuk menemani Vano berkeliling di pusat perbelanjaan Semarang. Memang manja, datang ke tempat seramai ini saja minta di temani.

"Ralat, bukannya nggak pernah, tapi sekali dua kali doang," jawabnya membenahi omongan Vano.

"Terus kalau lo kencan kemana? Di rumah? Ngamar?" Tebakan Vano justru membuat Mina mendengus kesal.

"Palingan Clubbing doang, minum terus udah pulang. Lagian ya gue ketemu pacar juga sebulan dua kali," tawa mirisnya terlihat.

"LDR?"

Mina mengangguk sebagai jawaban. Langkahnya masuk ke sebuah blok perbelanjaan khusus sepatu olahraga.

"Masih betah LDR? Kirain jaman sekarang udah nggak ada hubungan kayak gitu," desis Vano mengikuti langkah Mina yang memperhatikan sepatu olahraga.

"Mau gimana lagi guenya cinta," tangannya mengambil sepatu warna hitam dengan polet putih di setiap sisinya.

"Gue nggak yakin cowok lo juga cinta sama lo, gue tahu banget kalau cowok nggak bisa jauh-jauh dari cewek."

Mina duduk di kursi depan kaca, melepas wedges yang di gunakan lalu mengenakan sepatu yang di ambilnya tadi. Ukurannya pas di kaki, nyaman di gunakan juga, sepertinya cocok untuk olahraga di minggu pagi.

"Emang dia nggak cinta sama gue," gumamnya sambil mengikat tali sepatu, "bagus nggak?" Tanyanya meminta pendapat Vano mengenai sepatu.

"Kurang pas, gimana kalau yang pilihin?" Tanyanya menawarkan diri.

"Boleh," Mina melepas sepatu dan kembali memakai wedgesnya. Dia meletakkan sepatu ke tempat asal dan mengikuti Vano yang sedang memilih sepatu.

"Siang ini makan di rumah gue gimana? Kebetulan Nyokap di rumah," usul Mina, dia mengikuti Vano yang sibuk memilih sepatu untuknya.

"Yakin? Makan gue banyak, entar nyokap lo nyesel ngasih gue makan,"

Walau Vano tidak sedang menatap ke arahnya, Mina menggeleng, "nggak akan, sekalian lo nyobain masakan nyokap gue yang super duper enak," Ujarnya bersemangat. Senyumnya kembali.

"Boleh."

Vano mengambil sepatu warna pink pastel lalu menunjukkan kepada Mina. Senyumnya terlihat, pipinya mengembang, dan perempuan di hadapannya ini ikut melemparkan senyum.

Vano berjongkok dan meraih satu kaki Mina, melepas wedges dan memasangkan sepatu warna pink pastel pilihannya.

Yang dipasangkan justru terkejut, matanya berkedip beberapa kali sebelum kesadarannya kembali. Dia menunduk menatap Vano yang sibuk memakaikan sepatu.

"Van lo apa-apaan deh," bisik Mina ketika melihat orang-orang di sekitar memperhatikannya.

"Diem deh bentar lagi selesai."

Ikatan terkahir sudah beres, Vano berdiri dan memperhatikan sepatu yang begitu cocok untuk Mina. Mungil dan menggemaskan.

"Kan pas buat lo, bagus juga, ambil ini aja udah," serunya senang.

"Ya tapi nggak usah di pakein segala, nggak enak diliatin orang," jawab Mina menggumam.

"Cuek aja kenapa Na, cepetan ayo gue yang bayarin."

-

Selsa menghentikan langkah kesalnya berkali-kali, andai Sam ikut serta dalam pencarian papan photoboth, lelaki kurang ajar itu tak berani mengganggunya. Si berandal Fabian tak berhenti bercanda dan melemparkan godaan mengelikan. Elena juga kenapa sialan sekali mengijinkan calon suaminya berada dalam lingkup dekat dengan sang mantan. Eh tapi kan sejauh ini Elena tidak tahu kalau dirinya mantan kekasih Fabian.

Dia risih harus berdekatan Fabian karena mungkin sudah lama tidak terlibat obrolan dan perpisahannya sedikit bermasalah. Pada saat di toko khusus membeli aksesoris, Fabian lebih cerewet mengajaknya bicara namun dirinya lebih memilih diam dan menjawab jika itu penting dan perlu.

"Gimana dengan tiga permintaan gue, udah siap lo kabulin?"

Selsa bungkam dan sibuk memilih beberapa aksesoris yang kurang untuk perlengkapan pernikahan Elena dan Fabian. Pertanyaan ini dia rasa tidak begitu penting juga tidak begitu perlu untuk dijawab.

"Misal lo kabulin, besok gue jemput lo buat kencan, terus gue suruh pemilik kafe play lagu seromantis mungkin supaya kita bisa nostalgia dan terakhir gue bisa ci-"

"Bisa diam?!" Selsa menyela cepat, menatap tajam Fabian yang sedari tadi mengikuti langkahnya dan tak memilih aksesoris satupun untuk Elena.

Senyum penuh arti itu terbit di wajah Fabian, memasukkan kedua tangan, dia berdiri disamping rak besar berisikan kasesoris khas perempuan dengan mata tak lepas dari pergerakan Selsa yang begitu serius memilih aksesoris dengan teliti.

"Sejak kita putus makin kesini lo makin sexy juga ya," ocehnya diabaikan Selsa, "eh by the way kita belum putus sih sampai sekarang, kan lo yang pergi gitu aja."

Fabian tertawa miris ketika tahu kalimatnya masih saja di abaikan Selsa. Perempuan didepannya ini sudah berubah drastis, ribuan derajat dan dia sudah tidak mengenalinya lagi. Perempuan yang bersamanya ini mencoba menutup diri serapat mungkin, tak lagi membiarkan dirinya masuk dan ikut andil dalam hidup perempuan itu.

"Udah pernah tidur berapa kali sama pacar lo?"

Selsa jelas menghentikan langkah, tubuhnya membatu saat mendengar pertanyaan tidak wajar dari Fabian. Haruskah lelaki itu memancing emosinya di tempat ini? Perlahan kepalanya menoleh menatap Fabian dengan tatapan sulit di artikan.

"Seberapa sering saya tidur dengan pacar saya sepertinya bukan urusan kamu, berhenti bicara tidak penting, tujuan kamu kesini menemani saya mencari aksesoris dan papan photoboth buat calon istri kamu." Selsa berdesis marah, membuang pandangan ke arah lain kemudian sibuk memilih aksesoris dan mengabaikan Fabian, lagi.

Dia tersinggung dengan ucapan Fabian tadi, pentingkah pertanyaan itu bagi Fabian? Bukannya mereka sudah berjanji untuk tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaan?

"Gue kasih waktu dua hari buat lo ngasih jawaban, kalau selama itu lo nggak kasih gue kabar sama sekali, pacar lo bakal lihat video itu."

Bodo amat, Selsa tidak memperdulikan lagi segala ancan laki-laki itu. Tidak ada yang salah dengan video itu, Selsa akan menjelaskan sebenar-benarnya kejadian kepada pihak yang tersakiti nantinya.

Geram dengan sikap acuh Selsa, Fabian menarik lengan perempuan itu cukup kasar, agar Selsa berhenti menatap lekat aksesoris dan berganti menatap dirinya saja. Fabian mendelik kesal ketika raut Selsa biasa-biasa saja bahkan beda jauh dengan Fabian.

"Saya sudah bersikap profesional untuk proyek ini, saya sudah menekan ego saya kuat-kuat agar tidak lari begitu saja dari tanggung jawab, saya juga menekan amarah saya atas perlakuan calon istri kamu termasuk kamu sendiri, masih kurang dan ingin mengganggu kehidupan saya?" Geramnya melepas cekalan tangan Fabian, "apa mau kamu? Tidak bisakah kita hidup masing-masing?" Tanyanya pelan, putus asa.

"Mau gue?" Matanya saling beradu pandang, "lo jujur sama perasaan lo sendiri," imbuhnya dengan tegas.

"Jujur dengan perasaan saya sendiri? Oke kalau itu mau kamu. Saya udah nggak ada rasa apapun sama kamu, saya udah murni lepasin kamu sejak beberapa tahun lalu dan saya sudah melupakan kamu dari lama. Apalagi yang pengen kamu dengar?"

"Bohong."

Tiba-tiba saja Fabian menangkup wajah Selsa, "ini yang terakhir gue tanya, kemana lo waktu itu? Kenapa lo ninggalin gue tanpa pamit?" Tanya Fabian pelan.

Selsa melepaskan tangan Fabian dari wajahnya, tidak seharusnya Fabian berbuat hal semacam itu, bagaimana kalau orang lain melihat dan nantinya salah paham?

"Maaf itu bukan hal penting yang harus saya jawab."

"Ngelak lagi kan," Fabian membuang pandangan, "kalo emang lo nyaman hidup dalam kesalah pahaman gue nggak masalah, tapi jangan ajak gue, tolong kasih tahu alesan singkat lo."

---


That's My (ex) Boyfriend (Sweet Ex Boyfriend New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang