Setelah sampai di kediaman Elena, Fabian melenggang masuk tanpa permisi begitu saja. Seperti rumahnya sendiri, walaupun setengah tidak nyaman dengan adanya Elena dalam hidupnya, bahkan Fabian tetap keluar masuk kamar Elena tanpa canggung.
"El aku mau pernikahan kita di percepat!" kakinya di selonjorkan saling menumpu di atas meja, serta tangannya memijat pelan pangka hidung dengan mata terpejam.
Si perempuan bernama Elena itu jelas tidak bisa menyembunyikan binar kebahagiaan di wajah, ekspresinya angkuh karena merasa Fabian sudah tidak tahan hidup bersamanya, acara pulang cepat dengan meninggalkan teman-temannya ternyata tidak sia-sia. Permintaan laki-laki itu akan Elena turuti, dengan senang hati.
"Kamu udah nggak sabar hidup bareng aku? Jelas aku mau pernikahan ini di percepat, tapi-"
Mata Fabian terbuka sempurna mendengar kalimat Elena yang menggantung, "tapi apa?" tanyanya penasaran.
Wajah Elena berubah sedih, "Tapi untuk beberapa bulan ke depan aku ada projek dengan salah satu brand dan itu nggak bisa di batalin,"
"Kamu batalin sekarang juga, aku yang akan bayar penaltinya."
Gila saja, Elena tidak ingin hidup miskin karena Fabian membayar penalti dari kontrak yang sudah di tanda tangani beberapa minggu lalu, uangnya tidak sedikit. Lebih baik uang itu Fabian sisihkan untuk membeli kebutuhan make up dan skincarenya nanti, atau laki-laki itu memberinya dan menyuruhnya pergi perawatan ke salon mahal.
"Nggak," tolak Elena, "biaya penalti nggak sedikit Fab, kita tetap akan menikah setelah aku selesai dengan projek itu."
Fabian menurunkan kakinya dari meja, mendesah gusar, mengacak-acak rambutnya penuh frustasi. Entah, entah apa yang membuatnya segelisah ini. Amarah sesaat membuatnya kalut dan meminta hal ini kepada Elena, hanya mendengar Selsa akan menikah dengan Samuel, hati Fabian terbakar.
"Kamu pikir aku miskin? Sekarang juga batalin kontrak itu dan kita menikah," paksanya menggebu, "WO yang kamu pilih juga udah siapin semuanya, tinggal sebar undangan aja."
"Ini nggak semudah yang kamu pikir sayang," tak memikirkan canggung Elena membuka blazer toska menyisakan tank top hitam, "pernikahan butuh persiapan banyak hal, jadi aku mau kamu sabar. Kita pasti menikah kok, jangan-"
"Aku kasih waktu dua bulan, kalau kamu masih milih projek itu, aku nggak segan ninggalin kamu. Aku nggak perduli dengan marahnya Papa," tukas Fabian menyela kalimat Elena, membuat perempuan manis itu menutup mulut rapat dan susah meneguk ludahnya sendiri.
Elena menggeleng kecil, bersandar pada sandaran sofa, ia sengaja membuang pandangan ke segala arah dengan gumaman kecil. Dia sangat bosan, sudah bosan lebih tepatnya, dengan ancaman Fabian yang ingin membatalkan pernikahan. Omong-omong laki-laki itu tidak pernah tahu seberapa kerasnya memperjuangkan hati yang dari awal memang tidak untuknya.
"Pasti sesuatu sedang terjadi, nggak biasanya kamu berkeinginan kuat untuk mmepercepat pernikahan ini?"
"Nggak ada yang terjadi sama sekali," Fabian berujar menegaskan, "lagian kamu kan yang ingin cepat menikah dengan aku? Jadi ya udah ayo kita nikah!"
Tak bisa menyembunyikan tawanya, hanya dibatasi meja mewah, Elena tertawa kering didepan Fabian, "aku nggak bodoh, sesuatu pasti sukses bikin kamu nyerah dan akhirnya milih aku."
Kamu benar, dan aku nggak bisa melakukan apapun lagi.
"Aku akan mencintai kamu kalau kita udah nikah, aku janji," Fabian mendekati Elena, duduk di samping perempuan itu, menatap Elena serius.
"Kamu bohong Fab, aku tahu isi hati kamu, nggak pernah ada aku disana," jawab Elena pelan, membuang pandangan ke segala arah.
"El aku serius! Aku mau akhirin semua hal rumit ini, aku mau kamu bantuin aku melupakan segala hal menyakitkan yang terjadi di masalalu, aku mau kamu bikin aku jatuh cinta sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
That's My (ex) Boyfriend (Sweet Ex Boyfriend New Version)
General FictionDALAM TAHAP REVISI! [Sweet Ex Boyfriend, New Version] Blurb: Tidak ada salahnya membaca buku yang sama berulang kali, begitulah perumpamaannya. Selsa dipertemukan kembali dengan Fabian, mantan kekasih yang dulu menjalin cinta selama tiga tahun, dit...