Bab 6 - Unseen Scar

4.8K 390 25
                                    

Bab 6

Unseen Scar

Setelah melewati bulan madu yang lebih panjang dari rencana yang seharusnya, Lyra dan Erlan akhirnya pulang. Mereka pulang ke Solo kemarin malam untuk menghadiri ulang tahun Aryan, putra Ryan dan Prita. Pagi itu, barulah mereka kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan ke rumah mereka, rumah yang baru mereka beli karena posisinya berada di tengah antara kantor Erlan dan kantor Lyra, Lyra menghela napas berat.

"Kamu capek banget, ya?" tanya Erlan sembari mengulurkan tangannya yang bebas.

Lyra mengangguk dan menggenggam tangan Erlan. "Kamu juga, ya? Harusnya tadi kita minta dijemput aja sama sekretarismu."

Erlan tak tahan untuk menggoda istrinya, "Kalau ada Nino, nanti kamu pasti nggak mau romantis-romantisan sama aku."

Lyra mendesis kesal. Erlan tersenyum geli dan mencium tangan Lyra yang digenggamnya.

"Nanti kita langsung tidur aja begitu sampai di rumah. Capeknya juga pasti hilang kalau kita istirahat seharian," ucap Erlan.

Lyra mengerang protes. "Tapi, aku harus ke kantor pagi ini."

Pemberitahun dadakan Lyra itu mengejutkan Erlan.

"Ke kantor? Kenapa?"

Lyra menghela napas. "Kita kemarin kan, liburan lebih lama dari seharusnya. Jadi, ada banyak banget hal yang harus aku urus sekarang. Dari semalam aku kepikiran terus."

Erlan juga punya banyak hal yang harus ia urus, tapi ia tidak ingin memaksakan diri dan ingin menghabiskan sehari lagi bersama Lyra sambil beristirahat. Tanpa gangguan pekerjaan. Namun, Lyra justru hanya berpikir tentang pekerjaannya.

Erlan tahu, ia seharusnya melakukan pekerjaannya seperti Lyra. Mereka sama-sama mengurus perusahaan besar. Meski Erlan belum mewarisi W Group, tapi kakeknya sudah memberinya banyak tugas untuk menggantikannya. Namun, bagi Erlan, Lyra di atas itu semua. Selalu begitu. Meski, sekali lagi ia disadarkan, hanya dirinya yang berpikiran seperti itu.

Lyra pernah mengatakan jika Erlan lebih penting dari perusahaan. Namun, di setiap kesempatan, Lyra tak pernah ragu untuk memilih perusahaan dibanding Erlan. Seperti saat ini.

Meski begitu, Erlan kemudian berkata, "Kamu benar. Aku juga banyak yang harus diurus di kantor. Kalau gitu, nanti kita berangkat bareng aja ke kantor."

Lyra mengangguk dan tersenyum padanya. Begitu saja Erlan sudah merasa cukup. Dengan Lyra, ia tak akan meminta lebih.

***

Lyra meregangkan tubuh begitu berkas terakhir selesai dicek dan ditandatanganinya. Ia memanggil Milla lewat interkom. Begitu Milla masuk ke ruangannya, Lyra mengedik ke tumpukan berkas di mejanya dan berdiri.

"Tugasku udah selesai ya, buat hari ini," katanya.

Milla tersenyum dan mengangguk. "Oh ya, Bu, Pak Erlan udah nunggu Bu Lyra di lobby."

Mendengar nama Erlan, Lyra seketika menoleh ke jam di sisi ruangan. Jam sembilan malam.

"Dari tadi dia di sana?" tanya Lyra.

"Dari empat jam yang lalu, Bu."

Lyra melotot kaget. Ia meraih ponselnya, mengerutkan kening melihat tak ada satu pun pesan atau telepon dari Erlan. "Kenapa dia nggak telepon aku? Kenapa kamu nggak langsung antar dia ke sini?" kesal Lyra sembari buru-buru membereskan tasnya.

Marrying My Enemy (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang