Tahun 3333 Lux di Kota Visto, Samudera Xea, Dunia Moirei.
“Tenang, bukan berarti damai.” – Asier de Azul.
Tubuhku diseret secara paksa, mengikuti arus samudera. Arus itu seolah diam, tapi ia mencakar wajah hingga kulit terkelupas. Rasa perih tidak sebanding dengan empat merman yang mengikat kedua tanganku. Aku meronta-ronta agar terlepas dari cengkeraman tangan kekar mereka, yang berusaha mengikatnya dengan rantai hitam.
Rantai hitam? Aku belum pernah melihat rantai seperti itu di dalam Samudera Xea. Tidak ada pengawal Kerajaan Arneval yang menggunakan rantai hitam. Lalu, sebenarnya siapa mereka?
Mengapa mereka mengikatku? Rasanya sakit, seolah terdapat sihir di setiap rantainya. Aku mencoba berteriak, sekuat tenaga. Namun, tidak ada satu pun mermaid yang datang. Aku tahu, mereka tidak peduli dengan putri yang cacat. Rakyatku lebih bahagia, melihat penderitaan putrinya.
“Tolong!” Aku berteriak lagi, berharap pahlawan akan datang menolong dan menghajar merman sialan, yang dengan teganya melakukan penganiayaan terhadap putri mahkota cacat.
Empat pria berekor hitam itu tertawa terbahak-bahak. Lalu, salah satu di antara mereka berenang ke arahku. Matanya hitam pekat dan terdapat goresan luka panjang di pipi sebelah kiri. Ia menarik dagu dan memaksa mulutku untuk terbuka. Tanpa belas kasihan, ia memasukkan batu berwarna cokelat tua ke dalam mulut.
Batu itu masuk ke dalam tenggorokan hingga terkoyak, darah segar mengalir dari mulutku. Aku meringis kesakitan dan berusaha memuntahkan batu sialan yang mengganjal tenggorokan. Beberapa kali, aku mencoba dengan terbatuk-batuk, hingga akhirnya berhasil keluar.
Samudera Xea yang berwarna biru, seketika menyatu dengan warna merah darah. Darah itu membasahi bibir dan leherku. Rasanya sangat perih, berbicara pun sangat sulit. Bibirku hanya bisa terbuka dan tertutup, tidak ada satu kata yang berhasil keluar.
Merman dengan ekor hitam itu menatap sinis, “Tidak ada yang menolongmu.”
Begitu kejam kehidupan di Samudera Xea, sampai penghuninya menutup telinga dari rintihan dan teriakan meminta bantuan. Aku bersumpah akan mengingat hal itu baik-baik.
“Aku mohon, lepaskan aku,” ucapku dengan terbata-bata menahan rasa sakit.
Mereka terkekeh, menganggap ucapanku sebagai lawakan yang lucu. Tidak ada rasa empati terhadap gadis lemah. Entah, apa yang mereka inginkan? Sepertinya tidak puas menguji rasa sakitku.
Dua merman memegang tanganku yang terbelit rantai hitam, dua lagi mengeluarkan pisau dengan gagang hitam yang diukir gambar kuda laut. Mereka menatap mataku sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mermaid In Love With Handsome Dragon
Fantasy⚠️CERITA MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN DAN ADEGAN DEWASA. ⚠️FOLLOW SEBELUM MEMBACA. Asier, putri mermaid Kerajaan Arneval yang ditindas, hingga tewas. Setelah bangkit dari kematian, Asier bersumpah untuk balas dendam. Asier bersama Deckey-pria tampan y...