Napasku tertahan.
Bayangan A Ian tidak bisa hilang dari benakku.Pleton tujuh mengikuti pleton enam dari belakang.
"Azmi. Cerita kamu soal penunggu di sini, itu benar?"
Azmi diam, tidak menoleh.
"Dingin banget. Biasa aja keles."
Azmi tetap diam.
Aku mengerut alis.
Yopi menerobos ke depan, menyikut tanganku.
"Apaan sih?!" ketusku.Setibanya di perkemahan. Pembina pramuka menyuruh para peserta mengganti baju olah raga dengan kaos hitam dan celana PDH.
Kalau itu, aku hanya perlu ganti kaos aja.
Lebih cepat, lebih baik. Aku tidak betah lama di dalam tenda.Aku bingung bercampur penasaran. Ketiga temanku yang semula cerewet, suka bercanda. Sekarang, menjadi bisu kayak manekin hidup di China.
"Bosen ah! Pengen keluar. Kalian mau ke lapangan ga?" tanyaku.
Dani, Yopi, dan Azmi tertunduk malu, enggan bicara.
"Dasar."
Aku melangkah keluar. Ku edarkan pandanganku ke arah tenda panitia yang masih sibuk, lalu berlanjut tenda peserta perempuan. Yang semula Lya sangat aktif bersama sahabat karibnya. Sekarang Lya duduk manis di bawah pohon sambil mencabut rerumputan.
Di balik dua batu besar terdapat pohon yang berdiri gagah di antara kedua batu tersebut.
A Ian berdiri di atas batu, mengawasi.
Pakaian itu?
Bukannya, dia pakai baju pramuka? Mengapa A Ian berpenampilan seperti pengelihatanku?Seseorang menepuk bahu. Aku menoleh ke belakang.
"Semua peserta disuruh baris. Kamu baris sesuai pletonmu." Kak. Zaenal menyuruh.
"Baiklah. Kak, aku mau nanya. Kalau hp boleh ga dititipin? Takut, hilang."
"Tidak. Barang berharga peserta harus tanggung sendiri. Bukan panitia."
"Oke. Aku simpan dulu hpnya."
"Tidak. Kau harus berbaris. Sekarang."Aku mengangguk kecil, berlari memasuki barisan paling belakang. Kak. Zaenal sangat menyeramkan. Dia bicara seperti hantu-hantu dalam film horror.
Tidak mungkin.
Itu, aku pasti bermimpi.Pak. Doni memberikan sedikit arahan untuk acara selanjutnya. Aku malas mendengarkan. Dari awal, aku tidak niatan ikut kemping. Tetapi karena berkaitan dengan kenaikan kelas. Aku harus menjalankannya dengan sepenuh hati.
"Berhenti bicara. Kau harus fokus..."
Aku berbalik. Sejak kapan A Ian berada di belakangku?
"Baik, kak."
A Ian cengir, ia menyentuh pipiku.
"Jadilah anak baik." A Ian mengulurkan tangan. "Biar aku saja yang bawakan teleponmu."
Aku berdiam diri, lalu mengeluarkan hp dari saku.
A Ian menatap hpku lamat-lamat.
"Apa ini? Telepon? Sangat tipis dan ringan. Aku suka."
Perlahan aku ambil hp ditanganya.
"A Ian. Biar aku saja yang bawa."
"Jangan khawatir. Aku tidak keberatan membantumu."
Aku menggeleng kepala. "Ga usah."
"Baiklah."A Ian kembali memantau peserta lain.
Napasku tersengkal. Sudah kuduga. Mengobrol dengan A Ian bikin jantungan.
Dia menyeramkan.
Titik.Bahkan, aku tidak bisa berkutip sedikit pun. Mencoba mengalihkan pembicaraan tak sanggup.
Lima menit, pikiranku terus bertanya.Aku melirik ke belakang, A Ian terus menatapku.
Pak. Doni mengakhiri pengumuman.
Pleton pertama mulai berjalan dipandu dua panitia. Setiap pleton diberi waktu jeda selama lima belas menit. Aku menunggu. Mengedarkan pandanganku ke seluruh para peserta. Tidak ada yang bicara, bisu. Astaga, suasana makin mencekam. Ketiga temanku hanya duduk mencabut rumput.
KAMU SEDANG MEMBACA
4 BROTHER version CRIME #Wattys2019
Short StoryHai semua !!! Kali ini saya buat cerita tentang 4 brother. Biasanya kebayakan itu suka ada di youtube2x. Nah ! untuk kali ini saya menceritakan 4 brother versi jahatnya. Bila ada kesalahan mohon di maklumi. Sebagai sesama manusia pasti ada kesalaha...