MEGALODON?

38 6 1
                                    

"Yopi. Yopi!!!"

Aku berteriak keras sampai tenggorokanku sakit. Bertumpu di pinggir perahu, memeriksa dengan seksama. Waduh, di mana cacimg kermi? Bikin was-was aja.

"Rrrmmmm..."

Aku berbalik, menepuk jidat.

Lupa.

Aku masih punya urusan yang harus di selesaikan. Dengan cepat aku lepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya.

"Kau terluka?"

Lya menggeleng kecil. Kini aku bertemu sepasang mata tak bersahabat, gusar.

"Tidak. Aku baik-baik saja. Kenapa kamu ke sini?"

Aku merengut kening. "Aku menolongmu."

"Ini adalah jebakan." Lya memarahiku.

"Barusan kamu bilang minta bantuan?"

Lya menunjuk, di belakangnya terdapat sebuah radio usang terdengar suara Lya meminta tolong secara berulang-ulang.

"Lihat? Kau dijebak. Sekarang kita terperangkap." Marah Lya, menatapku kesal.

Kami memeriksa ke sekitar dengan seksama. Tak menemukan jawaban mencari jalan keluar. Lalu kulihat mesin tua di belakang perahu. Dengan cekatan aku menarik tali supaya mesin dapat menyala, alhasil mesin itu tak mau bekerja. Lya menepuk jidat, menghela napas, kecewa.

"Mau berapa kali kamu coba menyalakan mesinnya tak akan bekerja. Ga ada bensin nya, Zal." Lya menjelaskan perlahan.

Aku memeriksa dan ucapan Lya benar.

Lalu aku lihat dua tongkat dayung yang tergeletak di atas tempat duduk.

"Percuma kamu mendayung perahu pakai itu. Sekali kita bergerak di atas permukaan air. Maka nasib kita seperti mayat Dani."

"Diam, Lya" aku berseru keras. "Kenapa kamu juga bisa baca pikiranku seperti Yopi dan A Ian. Jangan-jangan kamu seperti mereka juga?"

"Karena kamu mudah di tebak" Lya menjawab hampir teriak.

Dia menundukkan kepala, mengepalkan tangan. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal lalu duduk di sebelahnya.

"Maaf aku sudah berteriak padamu."

Lya tersenyum simpul, menatapku lembut. "Aku juga minta maaf. Habisnya aku tidak tau lagi harus berbuat apa." Ia menatap telapak tangan bergetar lamat-lamat. "Aku mati."

"Hey! Jangan bilang begitu" ucapku, memegang tangan Lya. "Kita pasti bisa selamat dari situasi ini."

Aku melihatnya, tapi Lya terus menundukkan kepala. "Kamu yakin?"

Jari-jemariku menyentuh dagunya, mendongak kepala sedikit ke atas. "Iya."

Kami saling bertatapan muka. Perlahan jantungku berdegup kencang saat melihat warna mata hitam bak tinta. Aku melupakan semua kecemasan dalam benak. Jarak kami hanya sejengkal. Aku bisa merasakan kami saling berebut napas. Sedikit lagi aku bisa mencium bibir Lya.

Jika saja...

"Cie..... Aye! Aye! Lya dan Rizal berdua naik perahu. Mereka berciuman-"

Aku mengepalkan tangan dengan erat-erat. Kesal.

"Dasar" ucapku sebal.

***

"Skatmat" berseru A Ian.

Kak. Erpan menatap A Ian dengan gemas. Sebal melihat raut wajah A Ian yang menjengkelkan. Untuk ke-5 kali. A Ian berhasil membuat mengalahkan Kak. Dream dan Kak. Erpan di dlm permainan catur.

4 BROTHER version CRIME #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang