Upacara

180 10 0
                                    

Pukul 18:21, aku masih menatap jam tangan.

Hadiah pemberian dari orang tuaku.

Azmi masih semangat untuk meneruskan ide-ide brilian, untuk di ceritakan kepada kami. Dengan pipi bapau Azmi miliki, dia tersenyum dan bangga atas kegamuman dari kedua temanku.

"Dia berlari sangat jauh ke dalam hutan. Berlari... berlari... berlari.... terus berlari tanpa henti. Si kerudung merah sangat ketakutan, menjauhi rumah neneknya. Lolongan serigala masih terdengar, cakarnya yang tajam merobohkan rumah sang nenek. Si kerudung merah menangis tersendu-sendu, didalam hatinya 'aku mencintaimu, nenek'. Dengan menitikkan air mata. Si kerudung merah tidak pernah lagi mengunjungi neneknya."

Intonasi Azmi perlahan semakin jelas, tinggi-rendah nada bicara Azmi memberikan suasana jelas dalam bercerita. Yopi dengan badan kurus memeluk Dani. Sedangkan Dani lebih fokus memperhatikan jalan cerita dengan bertopang dagu.

Ya ampun, apa yang lebih seram dari itu sih! Aku heran dengan kedua temanku yang sebagai pendengar. Aku menghela napas, dan beranjak dari tempat dudukku. Ketika aku memakai sepatuku, aku melihat ke depan sana. Di balik dua batu besar terdapat pohon yang berdiri gagah di antara kedua batu tersebut. Tenda-tenda sebagai tempat tidur sementara di perkemahan ini, membuat sebuah lingkaran besar.

Panitia yang bertugas, memanggil peserta didik dari dalam tenda untuk keluar. Mendengar suruhan dari dua-tiga panitia pramuka, aku berbalik ke arah teman-temanku.

"Azmi, Yopi, Dani! Cepat keluar, sudah disuruh ke lapangan !!" kataku.

"Bentar lagi Zal. Kalem aja, masih lama kok" jawab Dani, sambil memperhatikan jam tangan dari saku celana berwana cokelat. "Lagian baru juga setengah tujuh."

Lalu dengan cepat, Azmi melahap cokelat batang ke dalam mulutnya. Sedangkan Yopi mengambil botol air mineral, satu-dua tegukan. Dia menyimpan lagi botol tersebut ke dalam tas.

"Waduh... Cepetan dong! Nanti dimarahin sama kakak kelas lagi." marahku.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku, aku langsung berbalik. Ternyata, salah satu panitia yang bertugas memeriksa tempat kami. Mata hitam menatapku tajam, kulit kuning langsat lebih pucat dibandingkan kakak kelas keturunan orang bule yang aku kenal. Dia mengerutkan dahi, memperhatikan ke dalam tenda kami yang berantakan.

"Kalian tidak dengar! Cepat keluar tenda, langsung ke lapangan. Aku beri kalian 2 menit untuk bersiap-siap, pakai atribut yang lengkap dan membersihkan kekacauan yang kalian buat" tegas panitia. "Ada pertanyaan?"

"Not sir!" jawab Dani, memberi hormat kepadanya.

Panitia itu tersenyum kecut, meninggalkan tenda kami.

Akhirnya aku bernapas lega, setelah dia pergi memeriksa tenda lain.

"Sudah aku bilang kita akan dihukum lagi" ketusku, lalu memakai sepatu warna hitam hampir pudar dengan tergesa-gesa. "Kenapa kalian tidak mendengarkanku!?"

"Tenanglah Rizal. Dia tidak akan menghukum kita," santai Yopi. Jari-jemari kurus dengan cepat mengambil sampah yang dibuang Azmi. Lalu memasukkannya ke dalam keresek hitam. "Ian adalah orang baik yang pernah aku temui saat datang ke sini."

"Apa kau yakin?" selidik Azmi, sambil mengangkat sebelah alis layaknya detektif.

"Iya. Hey! Kau meragukanku," ketus Yopi. Melipat tangan, melotot ke arah Azmi.

"Tidak. Aku tidak meragukanmu my friends. Hanya saja, aku tidak percaya kau mudah percaya kepada seseorang yang kamu temui" jawab Azmi.

"Hey, hey, hey! Tenang teman-teman kita bisa melalui semuanya tanpa harus ada pertikaian, benarkan Rizal?" kata Dani, sekaligus menenangkan Azmi dan Yopi.

Aku hanya mengangkat bahu. Lima belas menit telah berlalu, semua peserta sudah berbaris di lapangan kecuali kami.

4 BROTHER version CRIME #Wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang