Bab 3

12.5K 982 2
                                    

"Tabib. Di mana tabib?" seperti orang kerasukan, Pangeran terus memanggil tabib dan segera menyeretnya untuk bertemu dengan gadisnya.

"Ada apa, Pangeran? Tenanglah. Beritahu kami apa yang terjadi."
"Ikut aku ke kamar. Sekarang!"

Baru kali ini Pangeran tampak seperti orang gila. Entah apa yang dia pikirkan sekarang. Tabib itu segera mencari jawaban dengan pergi ke kamar Pangeran.

Selama ini, Pangeran dikenal sebagai Pangeran Es. Jarang berbicara jika tidak penting. Egois tentunya. Melihatnya bertingkah seperti tadi, siapa yang tidak heran dan bertanya-tanya.

"Obati dia sampai sembuh tanpa cacat sedikit pun."
Tabib itu menghela napas.

Bagaimana mungkin tanpa cacat? Sedangkan menurut infonya, Pangeran sendiri yang membuat gadis itu seperti ini. Pekerjaan yang sulit.

"Apa ... dia, akan mati?"
Pertanyaan itu membuat tabib menghentikan pekerjaannya. Keningnya berkerut. Tak mengerti kenapa Pangeran begitu terlihat khawatir kepada gadis ini. Seketika tersadar, mata tabib itu melotot tak percaya.

Segera ia menyibakkan leher belakang gadis itu. Kembali matanya melotot saat menemukan apa yang ingin dia temukan.

"Pangeran ... apa dia, matemu?"

Bagai tersambar petir, Pangeran mematung.Bagaimana tabib bisa tahu padahal dia tidak bicara apa pun? Hanya dia yang bisa mencium aroma gadis itu. Hanya dia.

"Bagaimana Anda bisa tahu?" tanya Pangeran pelan.

"Lihat ini, Pangeran."
Pangeran melihat ke arah yang ditunjukkan kepada tabib. Matanya membulat sempurna. Terjawab sudah. Namun, kenapa rasanya berat? Kenapa sulit sekali menolak kenyataan bahwa dia adalah mate yang selama ini dicari? Apa karena dia buta? Pangeran langsung menepis pikirannya.

Seegois dirinya, tak pernah ia merendahkan seseorang lantaran fisiknya yang kurang.

Tidak salah lagi. Bukankah harusnya ia senang sekarang? Harusnya dia segera membuat pengumuman dan acara.

Lagi-lagi, pikirannya masih menolak. Sudah jelas, tanda itu hanya ada pada matenya, dan berada pada gadis itu. Apalagi yang dia pikirkan? Pangeran kembali mengacak rambutnya kasar. Sedangkan tabib terus memperhatikan Pangeran. Tabib itu tersenyum kecil, mengerti sedikit apa yang Pangeran kecilnya pikirkan.

"Kau harus merawat dia, bukan? Setiap sore menjelang malam, oleskan ini pada punggungnya. Lalu, beri dia obat ini agar cepat sadar. Kau, tentunya keterlaluan pada matemu sendiri, bukan?" tabib itu tersenyum sambil menepuk bahu Pangeran pelan.

Kini di kamarnya, hanya dia dan gadis ini. Gadis yang ternyata adalah matenya dan mampu membuatnya terpesona. Pikirannya kembali berkecamuk. Dia tak tahu harus bagaimana. Perlahan, Pangeran mengambil tangan Alexia. Dikecupnya perlahan. Rasa bersalah tampak menyelimutinya.

Harusnya dia yakin. Baru kali ini, ia tak percaya dengan diri sendiri. Ini semua gara-gara gadis itu. Pangeran kembali merusak rambutnya.

Selama semalaman, Pangeran menjaga gadis itu, memegang tangannya, dan sesekali mengecup pelan tangan Alexia. Pikirannya kini sudah tenang. Bahkan, dia sudah punya rencana untuk selanjutnya.

Erangan kecil keluar dari bibir kecil Alexia. Dia mengedipkan matanya berulang kali. Instingnya mengatakan, bahwa ini bukan di ruang neraka. Apa dia sudah mati?

"Kamu sudah sadar?"

Alexia menoleh. Berusaha mengingat suara yang tidak asing tersebut. Matanya membulat. Perlahan rasa takut menyergapnya. Tubuhnya sedikit gemetaran. Melihat itu, refleks Pangeran memeluk Alexia. Sedangkan Alexia mematung. Suaranya menggantung di udara.

"Tak apa. Maafkan aku tadi."

Alexia mengorek telinganya. Dia tidak mungkin salah dengar, bukan? Pangeran itu tersenyum melihat tingkah Alexia.

"Bisa ... kau ulangi?"
Gadis itu bertanya tidak yakin. Berharap apa yang ia dengar tadi salah.

Namun, Pangeran mengulang kalimat yang sama membuat Pangeran tertawa melihat ekspresi Alexia.

"Aku tidak akan menyakitimu. Tidak mungkin aku akan menyakitimu lagi."

Entah kenapa, ucapan Pangeran membuat hati Alexia berdebar. Nyaman. Kalimatnya sungguh membuat Alexia nyaman.

"Ini pasti mimpi, bukan? Tolong, jangan bangunkan aku."

Pangeran terpana. Iseng, dia mencubit lengan Alexia membuat gadis itu refleks mengaduh.

"Hei, apa yang kau lakukan? Katanya tadi kau tidak akan menyakitiku.

Lalu, sekarang apa?"
Pangeran terkekeh. Dia mengacak rambut gadis itu.

"Aku ingin menunjukkan padamu, bahwa ini nyata. Bukan mimpi."

Wajah Alexia merona.

Pangeran tersenyum melihatnya. Meski gadis itu tidak bisa melihat senyumannya. Tunggu! Kenapa tidak ke pikiran permainan ini? Pangeran tersenyum puas.

"Gadis buta. Maukah kau mengikat perjanjian denganku?"

Alexia terkejut bukan main. Perjanjian katanya? Dengan Iblis? Yang benar saja! Belum sempat Alexia mengungkapkan keberatannya, Pangeran mendahuluinya.

"Akan aku buat kau bisa melihat. Ya, walau tidak jelas, tapi kau bisa melihat.Seperti bisa dikatakan penyakit rabun jauh? Bagaimana?" tawar Pangeran.

"Dengan syarat, kau harus jadi pasanganku."

Lucifer of MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang