Bab 6

9.4K 657 6
                                    

Seorang lelaki berjalan memasuki Istana Lucifer dengan wajah dinginnya dan kewibawaannya. Pakaian merah dengan berbalut jubah hitam yang dihiasi dengan motif khas keluarga bangsawan menambah jiwa kepemimpinannya.

Aldrik Arevanzo.

Sepupu dari Aksa.

Dia adalah salah satu raja yang di segani sesudah Aksa. Dia juga memiliki istana sendiri, istana vampire. Yang diwariskan dari ayahnya, yang menjadi paman Aksa. Keluarga dari Ibunya.

Dia datang berkunjung ke Istana Lucifer karena di saat acara penobatan sepupunya dia tidak dapat hadir karena ada sebuah urusan yang tidak dapat ditinggalnya.

Kini, Aldrik berjalan menuju ruang pribadi Aksa dan dia harus berbelok ke sebelah kiri untuk menuju ke sana. Namun, dia tidak sengaja menabrak seorang wanita--tidak bukan menabrak, tapi ditabrak.

Aldrik menggeram marah, namun terhenti karena melihat wajah cantiknya.

"Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja," ujar Alexia lembut.

Aldrik terdiam, seketika amarahnya lenyap dan tergantikan dengan tatapan terpesona terlebih mendengar suara lembut Alexia.

Dia memperhatikan Alexia dengan seksama dan melambai-lambaikan tangannya ke depan wajahnya. Dia mengernyit ketika melihat tatapan lurus Alexia.

Alexia yang sadar pun terkekeh, "Saya buta, Tuan."

Aldrik terperanjat. Ternyata dugaannya benar.

"Siapa kau?" tanya Aldrik.

"Saya, Alexia Edelwis." Alexia menyebutkan namanya dan tersenyum.

"Mengapa kau ada di sini?" tanya Aldrik.

Alexia tersenyum. Bukannya menjawab, dia pamit untuk pergi meninggalkan Aldrik.

Aldrik menatap punggung Alexia. Dia bertambah bingung dengan Alexia. Siapa dia? Mengapa dia ada di sini? Mengapa dia memakai pakaian seperti itu?

Ya. Pakaian yang dipakai Alexia sebanarnya hanya boleh di pakai oleh keluarga istana atau orang yang berhubungan langsung dengan keluarga istana.

Aldrik menampilkan seringainya dan menatap kepergian Alexia dengan tatapan yamg sulit diartikan. Dia pun lanjut berjalan menuju ruangan Aksa, dan fengan menggunakan kecepatan vampirenya dia sudah sampai di depan Aksa.

Aksa menatap Aldrik tajam, "Jika memasuki ruangan orang lain, harap unyuk mengetuk pintu."

Aldrik terkekeh dan mengangkat bahunya acuh. Dia pun duduk di sofa dan menjentikkan jarinya. Dalam sekejap, di tangannya sudah ada gelas berisi cairan kental dan dia pun meminumnya.

"Aku dengar kau sudah menemukan matemu," ujar Aldrik ketika meminum satu teguk cairan merah itu.

Aksa hanya bergumam sambil membaca dokumen di tangannya. Dia tidak memperdulikan kehadiran Aldrik dan memilih mengacuhkannya.

Aldrik yang kesal pun mulai menyindir Aksa, "Seorang pemimpin tidak baik mengacuhkan tamunya."

Mendengar kalimat sindiran itu, tangan Aksa yang sibuk membuka lembaran dokumen terhenti. Dia menegakkan tubuhnya dan menatap Aldrik lurus.

"Ada apa kau kemari?" tanya Aksa datar.

"Ingin bertemu denganmu." Aldrik pun membalas.

"Kau tidak perlu repot-repot bertemu denganku," ketus Aksa.

"Terserah. Tapi, aku ingin bertanya sesuatu." Aldrik menatap Aksa serius.

Aksa pun mengangguk dan menunggu Aldrik mengeluarkan suaranya.

"Siapa gadia buta yang ada di istana ini?" tanya Aldrik.

Aksa terdiam beberapa saat enggan memberitahu.

"Mengapa kau diam?" desak Aldrik.

"Kau tidak perlu tau," ujar Aksa dingin.

"Ada apa? Kenapa aku tidak perlu tau?" tanya Aldrik.

"Karena itu tidak penting menurutmu," balas Aksa.

"Jika itu penting bagiku, bagaimana?" tanya Aldrik serius.

Aksa terdiam kembali dan menatap Aldrim yang menatapnya tajam.

"Ala urusannya denganmu? Dia hanyalah gadis buta," Sarkas Aksa.

"Ada apa denganmu? Mengapa kau seperti berusaha menutulinya dariku?" heran Aldrik curiga.

"Bukan urusanmu," ujar Aksa dengan tatapannya yang menusuk.

"Aku punya urusan dengan gadis itu," ujar Aldrik bersikeras untuk membuat Aksa jujur.

"Apa?" tanya Aksa.

"Aku menyukainya," ujar Aldrik.

Kertas yang ada di tangan Aksa pun remuk. Dia menatap Aldrik dengan tatapan membunuh. Dia tidak suka mendegar kalimat terakhir Aldrik. Entah mengapa, emosinya terasa ingin meluap.

Aldrik menatap jepalan tangan Aksa yang meremuk kertas itu. Alisnya terangkat dan menatap Aksa bingung. Dia merasa ada yang disembunyikan oleh sepupunya itu.

"Mengapa reaksimu seperti itu?" tanya Aldrik heran.

"Jauhi dia!" Aksa menatap Aldrik serius.

"Mengapa?" tanya Aldrik.

"Karena dia tidak pantas untukmu," ujar Aksa dingin.

"Tidak. Dia memiliki kecantika yang tidak dimiliki oleh wanita mana pun, dia pantas untukku," ujar Aldrik serius.

"Dia buta!" Aksa menekankan setiap ucapannya membuat Aldrik tidak suka, terlebih ketika Aksa mengatakan Alexia buta.

Ya, walaupun Alexia buta. Tapi itu tidak masalah baginya.

"Aku tidak peduli. Aku bisa membuatnya dapat melihat kembali," ujar Aldrik serius.

"Aku bilang tidak, ya tidak!" bentak Aksa.

"Aku tidak peduli dengan perkataan kau. Mulai sekarang, dia adalah miliku." Aldrik menekankan kata 'milikku' membuat emosi Aksa seketika meluap.

Dia menggerakkan tangannya seperti mencekik seseorang. Dia mengarahkannya kepada Aldrik membuat badannya terangkat. Dia menekankan tangannya semakin kuat, sehingga Aldrik kesulitan untuk bernapas dan wajahnya memerah.

"Jauhi dia!"

"Dia adalah mateku!"

Lucifer of MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang