Bab 7

8.7K 580 3
                                    

Alexia mematung dan tubuhnya sedikit bergetar. Niatnya ingin menemui Aksa ternyata salah. Anehnya, air mata keluar dengan sendirinya. Alexia memegang dadanya yang seketika sakit. Dengan kemampuan penglihatan yang samar, dia kembali ke kamarnya dan menangis sesengukan.

Dia tidak mengerti perasaannya. Secepat itukah dia jatuh cinta pada Aksa? Dia sadar bahwa dirinya buta. Bahkan setiap hari, setiap waktu dia selalu mengingatnya. Seakan itu adalah sebuah kutukan.

"Queen, ada apa? Kenapa engkau menangis?" tanya Sani yang entah sejak kapan sudah berada di dekat Alexia.

Alexia tak menjawab, hanya isakan tangis memenuhi kamarnya.

"Sani ... kenapa rasanya, sakit sekali? Perasaan apa ini?" tanya Alexia dengan pelan. Tenaganya hampir habis akibat menangis.

"Saya tidak tahu, Queen, apa yang Anda rasakan. Maafkan, saya."

Ah, bodohnya dia bertanya pada Sani. Tentu saja wajar jika Sani menjawab seperti itu. Yang tahu perasaannya adalah dia sendiri. Tak sadar, Alexia terkekeh.

"Anda tersenyum, Queen?"

Alexia tersenyum. Ya, tertawa akan kebodohannya sendiri.

Di sisi lain, di sebuah ruangan besar dengan dua orang Pangeran sedang beradu pandang. Cekikan di leher Aldrik belum juga dilepaskan.

"Ini ... me ... narik," ucap Aldrik sambil berusaha melepaskan cekikannya. Tak lupa senyum liciknya dipancarkan.

Aksa segera melepaskan tangannya dari vampir berdarah iblis licik itu. Tercetak jelas bahwa Aksa ingin sekali menonjok vampire di depannya namun ditahan.

"Kita lihat saja. Akan kubuat dia jatuh cinta padaku," ucap Aldrik sungguh-sungguh.

Aksa semakin mengeratkan kepalan tangannya. _Sial_. Jika seorang Aldrik sudah berkata dan bersikap serius, tandanya dia tidak akan main-main. Aksa mengacak rambutnya frustrasi.

***

Aksa kini berada dalam kamarnya. Kamar yang sekarang harus ia bagi dengan seorang wanita yang tidak ia cintai namun sudah menjadi takdirnya. Baik Aksa maupun Alexia terdiam dengan pikirannya masing-masing.

"Apa alasanmu membuat perjanjian itu?" tanya Alexia tiba-tiba.

"Bukankah itu juga menguntungkanmu?" bukannya menjawab, Aksa malah memberikan sebuah pertanyaan yang berisi jawaban.

Alexia meremas tangannya perlahan. Tak sadar bahwa bibirnya ikut tergigit.

"Kenapa Anda membuat perjanjian dengan saya?"

"Karena Anda adalah mate saya."

Remasan di tangan Alexia semakin keras. Pikirannya semakin tak karuan. Namun, dia harus menanyakannya sendiri.

"Apa Anda ... mencintai saya?"

Seketika hati Aksa berdesir. Ada sedikit emosi ketika mendengar wanita itu menanyakannya. Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu.

"Tidak. Jangan salah paham. Aku menikahimu bukan berarti aku mencintaimu," desis Aksa.

Hati Aksa berdenyut saat mengatakan hal tersebut. Alexia sendiri diam-diam meneteskan air matanya. Aksa terbelalak ketika melihat matenya menangis.

Alexia terkejut saat ada sebuah tangan yang melingkari bahunya dan membawanya menubruk sebuah bidang yang keras.

"Kita baru kenal dalam berapa hari saja. Biarkan adanya seperti ini. Aku tidak mau memaksakan sesuatu. Bersikaplah seperti kita sedang pacaran. Oke?"

Tanpa sadar Alexia tersenyum dan menangguk dalam dekapan Aksa hingga tak sadar, kegelapan menghampirinya.

***

Alexia mengeliat dalam tidurnya, dengan perlahan kelopak matanya mengerjap ketika merasakan silau cahaya matahari pagi. Dia pun bangun dan menatap sebelah tempat tidurnya.

Kosong.

Aksa sudah tidak berada di tempat tidurnya. Alexia bergegas membersihkan diri. Tak perlu waktu lama, Alexia sudah selesai dan pelayan mulai merias wajahnya. Alexia termenung mengingat kejadian semalam. Aksa terlihat peduli kepadanya ketika dia menangis.

Apakah itu hanya kepedulian semata atau cemas melihat dia menangis?

Alexia menggeleng, dan berusaha mengenyahkan pemikirannya. Ketika riasan wajahnya sudah selesai, dia pun mulai berjalan-jalan di sekitar istana, namun suara seseorang menghentikan langkahnya.

Dia membalikkan tubuhnya dan menunggu orang tersebut. Ketika orang itu sudah berada di depannya, Alexia mulai membuka suara dan bertanya dengan ramah.

"Ada apa?" tanya Alexia.

"Ahh, tidak. Aku hanya ingin melihatmu saja," ujar orang tersebut.

"Siapa kau?" tanya Alexia.

"Aldrik Ravenzo." Aldrik mengulurkan tangannya dan dibalas oleh Alexia.

"Aku Alexia Edelwis," ujar Alexia memperkenalkan diri.

Aldrik tersenyum. Ketika Alexia ingin melepaskan jabatan tangannya, Aldrik menggenggam tangannya begitu erat. Alexia mengernyit, dia mulai risih dengan Aldrik.

"Maaf, tolong lepaskan tanganku," ujar Alexia risih.

Aldrik melepaskan tangannya dan terkekeh, "Ah ya, maafkan aku. Aku terlalu terpesona denganmu."

Alexia berdehem dan terkekeh canggung.

Aldrik kembali menatap wajah Alexia. Demgan lancang tangannya mengelus pipi Alexia membuat Alexia kaget dan menepis tangannya.

"Jangan sentuh aku. Kau mulai lancang, Aldrik," ujar Alexia dingin.

Aldrik hanya terkekeh melihat reaksi Alexia. Dia melipat tangannya di depan dadanya dan menatap Alexia dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kau tau? Aku akan mengambil apa yang aku inginkan," ujar Aldrik membuat Alexia bingung.

"Maksudmu?" tanya Alexia mengernyitkan dahinya.

"Untuk apa Aksa mengikat seseorang jika dia tidak tau apa yang dia rasakan?" ujar Aldrik kembali terkekeh. Itu bukan sebuah pertanyaan tapi pernyataan.

Alexia kembali kebingungan mendengar perkataan Aldrik yang mengandung maksud tersembunyi, tapi apa? Alexia tidak tau.

Aldrik menyeringai dan pergi dari hadapan Alexia. Tanpa mereka sadari, Aksa berdiri di ujung lorong menatap Aldrik dingin. Tangannya terkepal merasakan panas di hatinya.

Dia harus menjauhkan Alexia dari Aldrik. Karena sebagian dirinya tidak menyukai kedekatan mereka. Terutama Aldrik. Dia harus menjada Alexia, jika perlu dia harus berada di samping Alexia kapan pun dan di mana pun.

Lucifer of MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang