1

70 9 0
                                    

Aku Kaia Radilla Putri, mahasiswi Ekonomi semester empat di salah satu kampus yang berada di Yogyakarta. Bisa kuliah di kota yang dikenal dengan Kota Pelajar ini merupakan impianku sejak kecil dan berhasil aku wujudkan.

Saat memutuskan kuliah di sini, aku berpikir ingin keluar dari zona nyaman, mengenal dunia luar yang jauh dari keluargaku di Jakarta sana. Jauh dari Mama Rumi dan Papa Haidar, juga adikku Naomi.

Berat memang, karena sedari kecil aku tidak pernah jauh dari orangtuaku. Apalagi semenjak Naomi hadir, aku sayang sekali kepadanya dan tidak mau jauh-jauh dari dia. Tapi, aku juga tidak ingin seperti ini terus-terusan, aku ingin berkembang. Akhirnya, aku memilih kuliah di sini dan dengan berat hati, Mama dan Papa mengizinkan.

"Kai!"

Teriakan itu membuatku menoleh. Dan menemukan sahabat sekaligus teman satu kamar kostku berlari kecil ke arahku.

"Aku cariin tadi, tahunya di sini." Dia langsung duduk di sampingku, nafasnya tidak teratur karena berlari.

"Kamu kan, bisa WhatsApp aku," ucapku.

"Nggak ada kuota."

"Really? Seorang Alshiana nggak punya kuota?" Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja dia ucapkan. Karena setahuku, dia memang tidak pernah kehabisan kuota.

Ana menggedikan bahu. "Baru aja, terus males isi," jawabnya.

Aku mengangguk. Terkadang, Ana memang sangat malas walaupun hanya melakukan hal-hal sepele. Makanya, selama ngekost hampir dua tahun, aku selalu membersihkan kamar lebih sering daripada dia.

Itu sudah biasa, aku mengenal dia sejak di bangku SMP dan dia memang siswi yang paling jarang melaksanakan piket harian saking malasnya. Jadi, hampir semua orang yang kenal dia pasti paham dengan sifatnya yang satu ini.

Hanya saja, Ana tidak pernah gagal memasak makanan. Walaupun itu hanya makanan sederhana karena dia malas masak yang ribet, rasanya pasti tetap enak dan membuat orang yang memakannya meminta tambah. Begitu juga dengan aku, aku suka semua makanan yang dibuat Ana, dan itulah nilai plus-nya.

"Mau makan apa nanti?"

Nah! Ini adalah hal yang selalu aku sukai, sekalipun nanti aku harus membersihkan sisa-sisa pekerjaan dapurnya.

"Ayam?" Aku mengucapkannya dengan mata berbinar, membayangkan bagaimana lezatnya olahan ayam Ana.

Kening Ana mengernyit. "Are you serious? Ini masih tanggal delapan belas, Kai," ucapnya ragu.

Aku menepuk kening. Sebagai anak rantau dan tinggal di kost-kostan, aku dan Ana harus pandai-pandai mengatur keuangan agar uang bulanan yang diberikan orang tua kami cukup. Dan memakan ayam saat angka kalender masih berada di tengah-tengah adalah hal yang harus dihindari.

"Sorry, lupa. Kalau gitu, kaya biasanya aja, deh. Mumpung masih ada waktu ke pasar juga."

Ana mengangguk. "Kamu masih ada kelas, nggak?" Tanyanya.

"Enggak."

"Yaudah, ke pasar sekarang aja, biar bisa cepet-cepet makan, laper."

Ana berdiri, dia menguncir rambut sepunggungnya. Aku juga berdiri, lalu memasukkan buku ke dalam tas.

"Motormu dimana?" Tanya Ana.

"Di parkiran, lah. Ayo!"

Kami segera beranjak menuju parkiran, mengambil motor yang tadi pagi aku parkirkan di sana. Hari ini aku memang membawa motor, karena aku dan Ana bangun kesiangan. Ana ada kelas pagi, jadi aku mengantarnya. Informasi saja, Ana itu tidak bisa mengendarai motor, jadi kalau tidak sama aku, dia biasa pergi keluar naik angkutan umum.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang