14

22 2 0
                                    

"Mbak Anya udah lama gabung sama mereka?"

Kami sedang mengemasi peralatan yang sebelumnya digunakan sebagai media pembelajaran. Sekolah Darurat baru saja selesai kurang dari sepuluh menit yang lalu.

"Lumayan Kai. Sejak diajak Mas Bagas bergabung satu setengah tahun yang lalu."

Mbak Anya, atau Larasati Kanyadewi, pacarnya Kak Bagas yang kebetulan adalah kakak tingkatku. Semester depan sudah mulai menyusun skripsi.

Parasnya ayu, khas perempuan asli daerah ini. Sifatnya yang ramah dan menyukai anak-anak, adalah paket lengkap yang berhasil didapatkan Kak Bagas di diri Mbak Anya. Dan mereka adalah pasangan paling serasi yang sangat-sangat membuatku iri.

"Emang sekolah ini udah ada sejak kapan, sih Mbak?"

Aku hanya tahu kalau sekolah darurat ini dibuat oleh Ansel dan teman-temannya, tanpa bertanya lebih lanjut kapan tepatnya mereka membuat ini. Kalau Mbak Anya saja bergabung sejak satu setengah tahun yang lalu, artinya sekolah ini ada lebih lama dari itu.

Mbak Anya yang sedang sibuk merapikan crayon, menoleh sebentar.

Lalu kembali sibuk dengan crayon yang berserakan, bekas digunakan anak-anak belajar menggambar tadi.

"Sejak Ansel baru kuliah disini Kai. Sekitar dua setengah tahun yang lalu."

Aku mengangguk, mengerti.

Banyak sekali ternyata teman-teman Ansel yang terlibat. Selama mengikuti kegiatan mereka tadi, aku sudah berkenalan dengan sekitar enam orang, termasuk Mbak Anya.

Jadi, hari ini, ada sembilan orang yang mengajar anak-anak, termasuk aku yang baru saja bergabung.

Sepengetahuanku, Ansel membuat sekolah ini dengan tiga temannya, atau lebih pas disebut kakak tingkatnya.

Dari cerita Kak Bagas tadi, ide bermula dari Kak Dewa, sepupu Ansel. Dia yang sering jogging dan berhenti di taman komplek, melihat banyak sekali anak-anak yang tidak sekolah. Malah menjajakan dagangan kesana-kemari. Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, malah anak-anak itu gunakan untuk bekerja.

Mulanya, Kak Dewa tidak berpikir sampai ke sekolah darurat. Tapi, setelah dia bercerita dengan Kak Bagas, barulah ide membuat sekolah ini muncul.

Maka, Kak Dewa dan Kak Bagas  mulai menyusun rencana. Kak Dewa menghubungi Ansel, yang saat itu baru saja masuk kuliah. Sedangkan Kak Bagas mengajak teman satu kosnya, Kak Rendra.

Mereka berempat bertemu, berkenalan satu sama lain. Langsung akrab, karena satu angkatan. Kecuali Ansel yang masih tiga tingkat di bawah mereka. Tapi, itu tidak menjadi masalah. Ansel yang dasarnya mudah bergaul, memilih untuk menganggap ketiga kakak tingkatnya itu sebagai teman, dengan menghilangkan embel-embel "Kak" di depan namanya. Jadilah hingga hari ini, Ansel memanggil mereka bertiga dengan nama saja.

Rencana dimatangkan. Mereka berempat mulai berbagi tugas. Kak Dewa mengumpulkan anak-anak yang tempo hari dia lihat di taman, memberitahukan kalau sebentar lagi anak-anak itu bisa belajar. Seperti anak-anak lainnya di luar sana.

Semuanya terkejut. Merasa senang. Mereka semangat sekali, tidak sabar untuk segera memulai "sekolah" barunya.

Tapi, sayangnya, tidak semua orangtua anak-anak setuju. Beberapa dari mereka lebih menginginkan anak-anaknya bekerja, mencari nafkah. Tapi, lebih banyak yang setuju, bilang terimakasih karena mau memberikan "pendidikan" gratis.

Maka, itulah tugas Kak Bagas. Meyakinkan para orangtua yang belum setuju. Meski memang tidak mudah, akhirnya tuntas juga. Kesepakatan diambil. Anak-anak akan "sekolah" di pagi hari, dan bisa tetap menambah penghasilan di sore hari. Itu adalah solusi terbaik yang bisa mereka sepakati.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang