Aku berjalan cepat, nyaris berlari, beberapa kali hampir menabrak orang-orang. Mulutku terus menggumamkan maaf dan permisi, berharap segera sampai di tempat papa dirawat.
Telepon mama yang tiba-tiba tadi pagi, sukses membuatku kalang kabut. Papa pingsan, kata beliau dengan panik. Aku langsung pergi, meninggalkan cafe tanpa pengawasan, menuju rumah sakit yang sudah dituju mama lebih dulu.
Terjebak macet hampir satu jam, membuat emosiku hampir meledak. Aku buru-buru, panik, khawatir, tapi malah harus menghadapi suasana lalu-lintas yang menyesakkan. Klakson bersahut-sahutan, teriakan, bahkan makian.
Sampai di rumah sakit, ternyata kesabaranku masih diuji. Lift yang tiba-tiba mati membuatku harus berlari menaiki tangga, ke lantai tiga.
Damn shit!
Aku menabrak anak kecil yang entah muncul darimana. Anak itu langsung menangis begitu terjengkang karena tertabrak kakiku.
"Sial! Kenapa bisa anak sekecil ini sendirian, sih?!" Aku mengumpat pelan.
Anak kecil itu menangis tambah keras. Sedangkan orang-orang di sekitar juga sudah mulai memperhatikan. Dengan sabar yang tinggal setipis kertas, aku berjongkok, mengambilnya ke gendongan.
"Hey, tenanglah. Jangan menangis, tante nggak sengaja," aku membawa anak itu menjauh, sembari menepuk-nepuk pantatnya.
Aku sengaja membawanya pergi, agar orangtuanya menyadari betapa bahayanya meninggalkan anak berumur tiga tahun sendirian.
"Hiks.. hiks.. ma.. maa...." Tangisnya belum berhenti, hanya sedikit mereda.
"Tante minta maaf nggak sengaja nabrak kamu. Tante lagi buru-buru karena papa tante sakit. Jadi, mana yang sakit, boy?" Aku menurunkan anak itu di kursi tunggu yang kebetulan kulewati. Tidak ada banyak orang, hanya beberapa kali perawat berlalu.
"Hiks... Hiks..." Tangan kecilnya mengusap dahinya yang tertutup rambut.
Aku berjongkok di depannya, lalu mengambil alih untuk mengusap dahinya. Terlihat kemerahan, mungkin memang sakit.
"Maafin tante ya, pasti sakit," aku meniup-niup dahinya.
Entah kemana perginya kesalku. Melihat anak kecil di depanku yang masih sesenggukan sembari mengucek matanya, membuat emosiku menguap. Dia tampak menggemaskan, sekaligus minta perlindungan.
"Udah tante tiupin, nanti pasti cepat sembuh." Kataku, tersenyum. "Jangan nangis lagi ya,"
Aku mengusap pipinya yang memerah. Tangisnya perlahan mereda. Hidungnya yang juga memerah mengeluarkan ingus, membuatku terkekeh.
Aku mengambil tisu dari tas, mengusap hidungnya lembut.
"Udah. Nanti kalau nangis lagi, ingusan lagi, loh. Mau?" Anak kecil itu menggeleng cepat, membuatku tersenyum.
"Good boy!" Balasku sembari mengusap rambutnya.
Dia berhenti menangis. Tapi, aku masih bertahan jongkok di depannya. Melihat wajah polosnya membuatku tenang. Apa aku sudah pantas menjadi ibu?
Aku menggelengkan kepalaku. Terlalu jauh untuk memikirkannya. Tapi, tidak dipungkiri juga kalau mimpi terbesarku adalah menjadi ibu, melahirkan banyak anak-anak lucu seperti anak kecil di depanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always You
RomanceKaia Radilla Putri pernah menjalin hubungan dengan mahasiswa Kedokteran satu angkatannya, Ansel Randito Deas. Ansel menembak Kaia hanya karena taruhan dengan teman-temannya. Setelah dia diputuskan menang dan mendapat hadiah yang sudah disepakati, An...