17

31 4 2
                                    

Seven years later. Ana and Kaia are 27 years old.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*

"Kaiaaaaaa...."

Aku menoleh. Teriakan Ana dari luar pintu ruang kerjaku keras sekali. Belum ada dua detik, dia sudah masuk dengan senyum selebar tiga jari.

"Aku punya kabar gembiraaaa!!!" Serunya.

Wajahnya sumringah, senyumnya cerah, dan aku bisa memastikan ini lebih dari sekedar dia bisa menghentikan suaminya yang sedang marah.

Oh iya, Ana sudah menikah tiga bulan yang lalu. Nama suaminya Angga. Mereka bertemu pertama kali di pesawat, tidak sengaja mendapat kursi bersebelahan. Dan klise sekali, mereka bertukar nomor ponsel hingga akhirnya jadian. Tiga tahun kemudian memutuskan naik ke pelaminan.

"Apa? Ada yang baru?" Aku bangkit dari kursi. Ana sudah duduk di sofa merah yang memang kutaruh di ruang kerja, agar bisa digunakan untuk menerima tamu.

"Duduk dulu," Ana menepuk ruang kosong di sebelahnya. Semangat sekali. Aku jadi penasaran, apa yang bisa membuatnya sebahagia itu.

Aku menurut saja, ikut duduk di sebelahnya.

Ana merogoh tas-nya, senyumnya semakin lebar.

"Coba tebak, aku bawa apa?" Tanyanya dengan bahagia. Tangannya masih ia sembunyikan di dalam tas.

Aku menaikkan alis. "Perhiasan baru?" Tebakku.

Ana menggeleng. "No, no. Lebih dari itu."

"Ponsel baru?"

Ana menggeleng lagi.

"Dompet yang waktu itu kamu pengen?"

Masih menggeleng.

"Emmm... Parfum?"

"Bukaaannn..." Jawabnya gemas, dengan gelengan juga.

Aku mengangkat tangan. Menyerah.

"Nyerah deh. Emang apa, sih yang mau kamu tunjukin sebagai "kabar gembira" itu?" Aku menatapnya, menunggu benda apa yang akan dia keluarkan dari dalam tas.

Ana masih cengengesan, membuatku tidak sabar.

"An, cepetan deh," kataku jengah.

"Ok, oke. Jangan kaget ya..."

Aku mengangguk. "Iya. Udah cepetan, apa?"

Ana mengeluarkan tangannya dengan gerakan slow motion. Sengaja benar membuatku semakin penasaran.

Aku berdecak. Menatapnya datar. Kode agar dia cepat-cepat memberitahu apa yang ia sembunyikan di tangannya itu.

"An..." Panggilku rendah, ketika Ana tak juga membuka genggaman tangannya yang sudah di hadapanku.

Ana terkekeh. Lalu membuka genggaman tangannya. Memperlihatkan sebuah benda putih yang membuatku menutup mulut dengan mata melebar.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang