4

40 9 0
                                    

Aku berjalan cepat menuju sebuah cafe yang berada tidak jauh dari kampusku. Paksaan dari seseorang membuatku mau tidak mau harus kesana.

Tanpa sadar aku mendengus begitu melihat orang itu sudah duduk manis di dalam cafe. Senyumnya yang tampak memuakkan membuatku berdecak. Sungguh, sepertinya aku harus mempercepat ini semua agar bisa segera menjauh dari orang itu.

"Hai, Kaia," sapanya lengkap dengan senyuman yang kata orang-orang 'menawan'.

"Mau lo apa, sih? Nggak puas ganggu gue selama dua minggu ini?" Tanpa basa-basi aku langsung menyemprotnya begitu saja.

Bagaimana tidak, hari-hariku yang semula damai, tenteram, dan penuh kebahagiaan seketika musnah karena pesan-pesan tidak jelas dari orang itu sejak dua minggu yang lalu. Bahkan, tidak jarang dia mengirimi paket bunga di depan kost yang kadang-kadang diterima oleh penghuni kost yang lain. Aku malu, juga risih.

Namun, bukannya merasa bersalah atau apa, dia malah memperlebar senyum yang malah membuatku ingin mendaratkan bogeman di sana.

"Santai, Kai. Duduk dulu, sini," dia berdiri untuk menarikkan kursi kosong di depannya untukku.

Aku melirik sekitar, satu-dua orang nampak memperhatikan kami berdua. Membuatku dengan terpaksa harus duduk di depannya.

Di depanku, orang itu yaitu Ansel memperlihatkan senyum puas. "Nah, kalau gini, kan enak. Lo mau pesen apa?"

"Nggak usah basa-basi. Cepet bilang lo mau apa dan gue akan kabulkan semampu gue." Aku memberi penekanan padanya.

Sedangkan Ansel, dia malah menyandarkan tubuh di kursi dengan tangan bersedekap di dada.

"Lo kenapa kayanya anti banget sama gue?" Tanyanya.

Aku menghela nafas. Ikut menyandarkan tubuhku yang sebenarnya sangat lelah ini. "Gue cuma nggak mau berurusan sama lo. Apalagi sampai ada gosip kalau gue jadi korban lo yang entah ke berapa,"

"Tap---"

"Jadi, cepet bilang lo mau apa dari gue. Selagi bisa, gue bakal kabulin, asal lo nggak ganggu gue lagi." Ucapku seraya memajukan diri.

Ansel terdiam. Aku mulai tidak sabar. Lebih cepat dia mengatakan apa maunya, maka lebih cepat pula aku bisa segera pergi dari sini. Menjauh sejauh-jauhnya dari jangkauan Playboy kelas kakap satu ini.

"Ansel," panggilku dengan gusar. "Kalau lo tetep diam, gue pergi."

Aku mulai membenahi tasku untuk segera beranjak, sebelum suara Ansel menghentikanku.

"Tunggu..tunggu.." ucapnya panik.

Aku kembali menaruh fokus padanya. "Gue kasih waktu lima menit, sebelum gue bener-bener bakal pergi dari sini,"

"Kasih gue alasan, kenapa lo nggak mau digosipin sama gue?"

"Are you kidding me, Sel? Lo ngrendahin gue kalo lo pikir gue mau jadi salah satu korban ke-Playboy-an lo." Jawabku.

"Sayangnya Kai, itu yang gue mau,"

"What?"

"I want You to be Mine," Ucapnya.

"Hahaha, terimakasih Sel, tapi gue nggak minat." Balasku sarkas, lalu bangkit dan pergi meninggalkan Ansel.

Sebelum benar-benar pergi, aku sempat melihat Ansel tercengang. Pasti harga dirinya sebagai penakluk wanita sudah terluka akibat penolakanku.

*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*


"Kamu kenapa, Kai?" Tanya Ana begitu aku sampai di kamar kost.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang