20

36 2 0
                                    

"Ma, biar Kai aja yang pulang. Mama bisa ngembaliin Aga ke om-nya," ini kali ketiga aku membujuk mama.

Mama tidak merespon, masih tetap menyuapi papa buah.

"Maa..." Aku merengek. Akhirnya.

Saat ini sudah sore. Dan beberapa waktu lalu, mama bilang ingin pulang, menengok Naomi. Beliau juga memintaku untuk mengantarkan Aga ke om-nya, yang artinya ke tempat Ansel.

Jelas sekali aku menolak mentah-mentah permintaan mama. Kalau bukan karena Aga adalah anak kecil yang menggemaskan dan menangis ingin bersamaku, mana mungkin aku membiarkan Aga berlama-lama disini. Apalagi status anak itu yang adalah keponakan Ansel.

Pantang bagiku sekarang untuk berurusan dengan laki-laki itu.

Tapi, masalahnya, mama tidak suka dibantah.

"Yang bawa Aga kesini, kan kakak. Jadi, yang ngembaliin juga harus kakak, dong." Jawab mama cuek.

Aku menganga. Tidak percaya.

Iya, sih. Aku yang bawa Aga kesini. Aku juga yang nantangin Aga, dia mau disini atau ikut om-nya —dan ternyata dia mau disini—. Tapi, setelah om-nya keluar dari ruangan ini, malah mama yang langsung heboh dan semangat mengambil alih Aga, mengajak anak tiga tahun itu bermain. Jadi, kenapa aku yang kebagian harus nganterin dia balik?!

Aku melihat Aga yang masih sibuk bermain dengan beberapa mainan yang bahkan sempat mama belikan. Anak itu tidak tampak terusik akan perdebatan kecilku dengan mama.

"Ag--"

"Nggak usah libatin Aga, kak." Mama langsung memotong sebelum aku sempat memanggil Aga dengan lengkap.

Astaga... Mama tahu darimana, sih, kalau aku mau membujuk anak itu supaya milih dianter oleh beliau?? Padahal dari tadi juga duduknya membelekangi aku dan Aga —yang anteng di sofa—, dan langsung nyaut gitu aja waktu aku baru mau melancarkan bujukan pada yang bersangkutan.

"Masa kamu mau Aga tahu, kalau tante yang udah nabrak dia, nggak mah anterin dia pulang?" Kata mama kemudian.

Aku menghela nafas lelah. "Enggak, ma."

Mama berbalik melihatku. "Nah, makanya buruan anterin balik. Udah sore, loh ini." Beliau melihat luar jendela yang memang sudah menampakkan sang surya yang hendak mengilang. "Kasian. Siapa tahu orangtuanya nungguin di ruangan dokter ganteng sejak tadi."

Aku menoleh cepat. Dokter ganteng?

"Dokter ganteng siapa lagi, sih ma??" Tanyaku tak habis pikir.

Sedangkan yang ditanya malah bangkit dari duduknya sambil senyum-senyum. "Ya Dokter Deas, lah. Siapa lagi?"

Aku menjatuhkan rahang. Kenapa harus Ansel lagi???? Aku benar-benar sudah lelah. Akhir-akhir ini Ansel terlalu banyak merancu di hidupku.

"Emang kamu nggak ngerasa kalau Dokter Deas itu ganteng?" Mama berjalan menuju tempatku duduk. Acara suap-suapan buah dengan papa sudah selesai.

"Enggak." Jawabku langsung.

"Hah???" Mama langsung buru-buru menyentuh dahiku, memeriksa mataku, yang tentu saja membuatku risih.

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang