Malam ini adalah malam ketiga papa di rumah sakit. Dan kali ini adalah bagianku menjaga beliau.
Sebenarnya sudah sejak siang tadi papa meminta pulang. Beliau bilang sudah sembuh, padahal ketika Dokter memeriksa, tensi darahnya masih belum stabil.
Aku tidak tahu apa yang membuat papa ingin cepat-cepat pulang, selain kenyataan bahwa selama tiga malam ini beliau tidak bisa tidur seranjang dengan mama. Tapi, bukankah lebih baik berpisah sementara daripada terjadi sesuatu yang tidak terduga?
Dan malam ini, papa harus rela tidur tanpa pegangan mama di tangannya. Mengingat dua malam lalu, mama selalu memegang erat tangan papa sampai beliau tidur. Untuk kemudian menyusul tidur di sofa yang sekarang aku duduki.
Entah bisa atau tidak papa tidur nanti, aku tidak mau ambil pusing. Papa lebih dari dewasa untuk tidak bersikap kekanakan dengan menolak tidur jika tanpa mama.
Aku menoleh pada jam dinding, pukul tujuh lewat sepuluh menit. Azan Isya' samar-samar terdengar dari masjid besar di seberang rumah sakit. Terlalu jauh kalau aku ingin kesana, jadi aku akan pergi ke mushola rumah sakit di lantai dua.
Sambil menunggu Azan selesai, aku mengupas beberapa buah untuk teman papa selama aku pergi. Mungkin aku juga harus mampir di kantin rumah sakit, sekalian membeli makan malam agar tidak bolak-balik.
"Pa, Kaia mau ke bawah dulu. Sholat sekalian beli makan malam. Papa nggak apa-apa kalau Kaia tinggal?" Aku menaruh buah-buahan siap makan di nakas samping tempat tidur papa.
"Sendiri?"
Aku mengernyit. Memangnya harus sama siapa lagi?
"Iya. Memangnya kenapa, pa?"
Papa menggeleng. Lalu kemudian menjawab, "oke".
Aku mengangkat bahu. Tidak ambil pusing. "Ini udah Kaia kupasin buah, siapa tahu papa pengen," kataku, menunjuk buah di atas nakas.
"Iya. Sudah sana, keburu telat nanti."
Aku mengangguk. Lalu bergegas mengambil alat sholat yang kemarin aku bawa dari rumah. Menoleh sekali lagi pada papa yang ternyata sudah memakan buahnya, kemudian keluar.
Tiga hari disini membuatku sering bertemu dengan sosok yang sebenarnya sangat tidak ingin aku temui, entah sekarang, nanti, atau kapanpun. Namun, sayangnya dia adalah dokter yang merawat papa. Aku tidak punya alasan untuk tidak bertemu dengannya setiap jam visit pasien.
Jadi sebenarnya bukan hanya papa yang ingin cepat-cepat bisa pulang ke rumah. Aku juga.
*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*
Mushola rumah sakit sudah ramai saat aku tiba disana. Ruangan berukuran 10x10 meter sudah hampir penuh. Aku pun bergegas mengambil air wudhu dan bergabung bersama beberapa perempuan yang sudah di dalam.
Tidak lama kemudian iqamah dikumandangkan. Aku yang memang belum sempat duduk, sudah siap sembari menunggu jamaah yang lain berdiri.
Seorang laki-laki dengan kemeja biru melangkah ke depan, ke tempat imam. Aku tidak tahu itu siapa. Dan tidak penting juga siapa pun dia, aku hanya makmum yang perlu mengikuti sang imam.
"Allahuakbar"
Setelahnya, aku mulai khusyuk menghadap Sang Pencipta.
Tidak lebih dari lima belas menit ibadah kami selesai. Imam menutupnya dengan lantunan doa yang diaminkan seluruh jamaah. Aku melipat mukena lalu beranjak keluar dari mushola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Always You
Любовные романыKaia Radilla Putri pernah menjalin hubungan dengan mahasiswa Kedokteran satu angkatannya, Ansel Randito Deas. Ansel menembak Kaia hanya karena taruhan dengan teman-temannya. Setelah dia diputuskan menang dan mendapat hadiah yang sudah disepakati, An...