26

25 3 1
                                    

Tok..tok..tok

Cklek...

Aku mendongak, mengalihkan fokus dari barisan e-mail yang sedang kubaca.

"Ada Mas Reo di bawah, mbak." Lapor Tika.

Sebelah alisku terangkat. "Reo? Ngapain?"

Wajar saja, sekarang baru pukul sepuluh lebih tujuh belas menit —aku melirik jam digital di atas mejaku—,  dan sepupuku —yang katanya Ansel tampan— itu malah ada disini. Seharusnya dia ada di kampus, mengikuti kelas, atau mendekam di perpustakaan untuk menyicil skripsinya sebentar lagi.

"Tadi cuma pesan minum aja, mbak, terus minta dipanggilin Mbak Kaia."

Jawaban Tika membuatku menghela nafas. Apa Reo lupa fungsinya ponsel? Padahal dia tinggal menelepon atau kalau memang tidak ada pulsa, minimal mengirim pesan, memintaku turun. Tidak perlu menyuruh Tika segala. Bikin repot saja.

"Ya udah, bentar lagi saya turun. Kamu lanjut kerja aja, Tika," kataku kemudian.

Tika mengangguk lalu permisi.

E-mail yang baru setengah kubaca tadi terpaksa harus kutinggal. Menutup laptop, melepas ponsel dari charger, dan mengaca —memastikan penampilanku baik-baik saja—, lalu turun. Sekalipun tidak suka karena Reo mengganggu pekerjaanku, tapi aku cukup tahu kalau sudah datang duluan, ada hal penting yang ingin dia tanyakan atau katakan. Terlebih lagi, anak itu tidak suka menunggu lama.

Netraku memindai seluruh ruangan, mencari dimana sepupuku itu berada. Suasana cafe yang ramai membuat mataku tidak awas. Terlalu banyak muda-mudi seusia Reo disini. Hampir saja aku menghampiri orang yang salah, jika dia tidak segera melambaikan tangan dari seberang tempatku berdiri. Tersenyum lebar tanpa dosa.

Dasar bocah! Sudah mengganggu, hampir buat malu pula.

Aku menghampiri mejanya dengan kesal. Kenapa nggak lambai tangan daritadi coba? Kan, aku nggak perlu celingak-celinguk kaya orang bodoh gitu. Padahal, aku yakin dia udah tahu aku berdiri disana sejak tadi. Kelihatan dari wajahnya yang tengil banget itu.

"Ada apa?!" Aku sama sekali nggak selow ketika sudah berada di hadapannya.

Tapi, Reo masih sempat-sempatnya tertawa. "Santai dong, kak. Gue kira lo bakal gampang nemuin gue. Secara, gue kan shining, shimmering, splendid gini!"

"Shining, shimmering, splendid gundulmu!" Aku menjambak sedikit poninya yang panjang itu. "Orang gondrong kaya gini. Malah mirip tarzan tahu, nggak."

"Yeuuuu, ganteng gini, kok!" Dia malah menyugar rambutnya kebelakang. Alisnya naik turun, menunjukkan ekspresi lebih pede lagi.

Aku pura-pura muntah melihatnya. Reo memang tampan, aku akui, tapi dia itu over pede sekali.

"Udah, deh, lo ada apa kesini? Ganggu gue kerja aja, sih." Aku mengalihkan topik. Kalau tidak dialihkan, bisa-bisa sampai besok kami masih adu mulut membahas sesuatu yang sebenarnya tidak perlu.

Reo tidak langsung menjawab. Anak itu meminum es tehnya terlebih dahulu. Kadang aku suka heran, kok bisa cowok tengil, kepedean kaya dia itu suka banget sama es teh. Minuman sederhana yang ada di mana-mana. Bagi dia, es teh itu segalanya. Tanpa es teh, Reo bisa ambyar. Katanya.

"Re?" Aku memanggilnya ketika beberapa saat kemudian dia masih belum bersuara. "Gue tinggal, nih, kalau masih diem."

Barulah Reo menegakkan punggungnya. Meletakkan es teh favoritnya yang tinggal beberapa cm dari dasar gelas.

"Waktu itu gue jemput lo di rumah siapa, kak?"

Mataku mengerjap. Barusan Reo tanya apa?

"Maksud lo?"

Always YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang