Long time no see🙋
Maaf ye baru bisa Up. Soalnya 2 minggu ini aku full presentasi jadi enggak sempet buat buka work. Maaf, ya..Langsung aja ... Cekidottt!!!
Don't forget to vote+conment 💜~💜.
.
.×=================×
“Kadang aku heran kenapa ibu lebih mempertahankan manusia tidak berguna sepertimu?” kata ‘manusia tidak berguna’ diucapkan Wonwoo dengan penuh penekanan. Membuat Dokyeom menahan rasa sakit di ulu hatinya. Sejujurnya ia sedikit menyetujui perkataan barusan. Tidak seperti sang kakak yang selalu mendapatkan beasiswa karena kepandaiannya, Dokyeom tidak pernah sekalipun.
“Kenapa juga ayah masih menyayangimu? Seharusnya dia membencimu!”
“Pernahkah kau berfikir kenapa ayah selalu mengambil cuti di hari ulang tahunmu? Kau pasti mengira bahwa itu untukmu. Pergi di pagi hari untuk menyiapkan pesta dan merayakannnya malam hari. Begitukan?” Dokyeom tidak lagi menghindar saat sosok sang kakak berjalan mendekat. Ia hanya bisa diam ditempat menunggu penjelasan selanjutnya.
“Jika kau berpikir demikian maka, salah!”
“Ayah pergi ke makam ibu. Kenapa? Karena ulang tahunmu adalah hari dimana ibu meninggal.”
“Aku benci mendengar kau tertawa senang di hari itu. Aku benci saat melihat ayah selalu pura-pura bahagia demi dirimu. Dan aku lebih benci lagi karena kaulah yang membuat ibu meninggal.”
Wonwoo merasa lega telah mengatakan hal sudah dipendamnya selama beberapa tahun itu.
“Aku. Sangat. Membencimu. Lee. Dokyeom,” ujar Wonwoo penuh penekanan. Tatapan penuh kebencian juga terlihat jelas pada kedua matanya.
“Jika saja ibu mau melakukan operasi pengangkatan tumornya, hidupku pasti tidak akan menyedihkan seperti sekarang. Dan aku tidak perlu mendengar ayah manangis di tengah malam.”
Sekarang Dokyeom sudah tahu apa alasan yang kakak menjauhinya. Dokyeom memaklumi sikap sang kakak. Sebab, jika dirinya berada di posisi sang kakak, besar kemungkinan ia juga akan melakukan hal yang sama.
“Kau telah menghancurkan dua hati manusia, tuan muda Lee. Kehadiranmu adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya kau berada disini.” Dengan wajah yang penuh air mata, Wonwoo mulai berjalan menjauh tanpa memedulikan Dokyeom yang tengah terluka.
“Ma- maaf…” ujar Dokyeom lirih. Wajahnya kini tertunduk, berusah menyembunyikan airmatanya. Kedua tangannya pun mencengkam kuat kaos putihnya guna meredam suara tangis.
Wonwoo berbalik mengahadap asal suara barusan.
“Kau pikir kata maaf dapat membuat semuanya kembali?”
“Lalu apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkanku?” jawan Dokyeom sambil menatap balik sang kakak. Dirinya sempat dibuat terkejut saat melihat mata sang kakak juga mengeluarkan air mata sepertinya. Dirinya menjadi sangat bersalah sekarang.
Wonwoo tidak langsung menjawab. Ia menatap lurus sosok di depannya sedikit lama.
“Lenyaplah dari dunia ini. Maka aku akan memaafkanmu setelahnya." Setelahnya Wonwoo berjalan cepat meninggalkan dapur.
Ketika sosok tersebut mulai menghilang, Dokyeom langsung menjatuhkan dirinya ke lantai. Suara tangis yang sempat ditahan ia keluarkan dengan keras.
“Ibu…,” ujarnya dengan tersedu-sedu.
Ia tidak menyangka jika selama ini ayahnya telah berbohong. Berdasarkan penuturan sang ayah, sosok yang sering diceritakan memiliki sifat yang hampir mirip dengannya itu meninggal karena sebuah kecelakan. Bukan disebabkan oleh sebuah penyakit seperti yang dikatakan sang kakak. Jadi siapa yang benar?
Ia berlari menuju kamarnya dan mengambil handphone di nakas meja belajar.
Dokyeom mulai mengotak-atik isi benda persegi panjang tersebut untuk mencari kontak sang bibi, sosok yang telah membesarkannya sampai berumur 5 tahun, sebelum resmi diasuh ayahnya kembali hingga sekarang .
Setelah dua kali gagal, akhirnya telepon tersebut tersambung. Tidak berselang lama, suara wanita paruh baya terdengar.
“Dokyeom-ah…, akhirnya kau menelepon bibi juga. Bibi merindukanmu, sayang…”
Sudah sekitar 3 tahun yang lalu ia bertemu langsung dengan bibinya. Setelahnya ia hanya berkomunikasi via telpon. Bibinya tersebut sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Biasanya jika Dokyeom menelepon dirinya akan bercerita banyak pada sosok disebrang sana. Seperti yang sering dilakukan oleh ibu dan anak lainnya. Tapi kini Dokyeom hanya diam. Bahkan sapaan dari bibinya barusan belum dijawab.
Meskipun tidak benar-benar sedarah, tapi wanita tersebut dapat merasakan keanehan pada sikap keponakannya disana.
“Apa ada masalah? Ceritakan pada bibi. Jangan kau pendam sendiri…” bujuk wanita tersebut.
“Aku hanya ingin memastikan sesuatu,” ujar Dokyeom. Tagisnya mungkin sudah mereda. Tapi suaranya masih terdengar bergetar.
“Apa yang ingin kau pastikan?”
Dokyeom menarik nafasnya panjang. Ia sedang berusaha keras agar air matanya tidak keluar kembali.
“Apa benar ibu meninggal gara-gara mengabaikan penyakit tumornya demi diriku, Bi?”
Tidak ada jawaban dari sosok disebrang sana.
Dokyeom terkekeh pelan. Ia kemudian mematikan sambungan telepon dengan sepihak. Ia merasa sudah tahu jawaban yang akan diberikan bibinya nanti.
Dokyeom mulai menangis dengan keras. Siapapun yang mendengarkan pasti akan ikut merasakan pilunya.
Ia tatap bingkai photo yang berdiri tegap pada meja belajarnya. Dengan air mata yang masih mengalir deras, ia ambil benda persegi itu. Itu adalah foto ayah, ibu dan kakaknya, Wonwoo. Dalam foto tersebut mereka tampak terseyum bahagia. Bahkan Wonwoo yang masih berumur 7 bulan juga terlihat girang hingga memperlihatkan giginya yang baru tumbuh 2 biji. Jika biasanya Dokyeom akan ikut tersenyum saat melihatnya, maka sekarang ‘senyum’ pada photo tersebut malah membuat hati Dokyeom menjadi sakit. Perasaan bersalah semakin tumbuh kuat di dalam sana. Matanya kini mulai fokus pada sosok wanita yang tengah memangku bayi mungil. Itu ibunya.
“Kenapa ibu melakukannya? Apa sebenarnya tujuan ibu?” Dokyeom mulai bermonolog pada gambar sang ibu.
“Lebih baik ibu tidak usah menyelamatkanku jika akhirnya malah seperti ini …”
“Sakit, bu… sakit…” isakan tersebut terdengar lebih keras. Tangannya mulai memukul dadanya berkali-kali. Seolah menunjukkan pada sang ibu betapa sakitnya yang ia rasakan sekarang.
Mendapatkan kebencian dari keluarga sendiri selama 12 tahun bukanlah hal yang mudah. Sering mendapatkan penolakan, sering disalahkan, dan selalu mendapatkan tatapan dingin. Sudah bayak luka yang Dokyeom terima. Hingga puncaknya hari ini. Sakitnya sangat tak tertahankan.
“Ibu jahat… Aku benci ibu…”
Setelah beberapa menit, tangis tersebut akhirnya mereda. Meskipun begitu air matanya belum sepenuhnya mengering. Dokyeom letakkan bingkai tadi asal.
Sosok berhidung bangir itu mulai mendekat ke meja belajar yang kebetulan berada tepat di sebelah kasur tidurnya. Tangannya membuka laci paling atas dan mulai mencari sesuatu. Setelah ketemu, ia keluarkan benda tersebut dan menatapnya lekat.
Sebuah pisau lipat bekas praktikum sains kemarin berada digenggamannya. Ia buka lipatan tersebut hingga mata pisaunya dapat terlihat dengan jelas. Pisau mahal tersebut baru sekali ia gunakan. Tentu tidak diragukan lagi ketajamannya.
“Jika aku melakukannya… ibu akan kembali, kan?” monolognya sambil menatap kosong pisau lipat yang berada dalam genggamannya.
TBC
×================×
Me : "Kenapa enggak pakai pedang aja, Kyeom? Yang kayak di teaser kamu. Sekalian kan, ya...
Minggu depan aku udah mulai UTS, jadi next capt. kyaknya bakalan lama lagi.((Kritik dan saran dibutuhkan segera...))
©DratnaK (28/03/19)
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother and I (Wonwoo-Dokyeom)
FanfictionDokyeom tidak tahu apa alasan sang kakak membencinya. Bahkan sejak ia datang ke rumah hingga sekarang, tidak pernah sekalipun sang kakak bertegur sapa dengannya. Ia bahkan sering mendapatkan tatapan dingin darinya. Start : 12/01/19 Finish : - ©Drat...