6

334 17 0
                                    

Aku hanya takut. Aku takut tak bisa menjumpai senyum jenakamu yang selalu menghangatkan hatiku itu. Aku takut tak ada tangan halus yang mengusap air mataku dengan lembut. Aku takut tak menjumpai sandaran yang sama sepertimu. Aku takut tak ada yang mau menjadi pendengar setia setiap keluh kesahku. Aku hanya takut. Aku takut kehilanganmu. Aku benar-benar takut.

***

Tidak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Tanpa disadari. Tanpa bisa dihalangi. Lia berjalan di lorong kelas dengan setumpuk berkas yang akan ia legalisasi ke kepala sekolah untuk keperluan kuliah. Sudah empat bulan lalu, Lia dan Faris lulus dari sekolah itu. Melepaskan masa putih abu bersama berjuta kenangan.

Koridor kelas sudah mulai ramai dipadati para siswa. Tentu dengan wajah baru karena kehadiran kelas X yang baru masuk kemari. Lia hanya tersenyum setiap kali ada adik kelas, atau lebih tepatnya mantan adik kelas yang tersenyum kepadanya. Lia merasa mereka lebih baik dan lebih ramah daripada teman-teman sekelasnya dulu yang sering menjauhi dan mem-bullynya.

"Selamat siang Kak Lia. Mau ke ruang kepala sekolah ya?" Sapa seorang perempuan berseragam putih abu berjilbab panjang hingga menutupi dada.

"Siang, Hanindya. Iya, mau melegalisir raport, SKHUN dan Ijazah. Pak Hermawannya ada tidak?" Kata Lia sembari tersenyum.

"Sepertinya ada, Kak. Mau diantar? Sekalian aku mau ke ruang TU untuk membayar uang bulanan."

"Hmmm... Boleh juga. Ayo." Lantas, Lia pun berjalan bersama Hanindya. Mereka tampak akrab sekali. Mungkin karena jarang bertemu, mereka saling bertukar kabar pada waktu yang singkat itu. Hanindya, adik kelasnya. Satu ekskul dengannya. Dulu, Hanindya pernah ditanyai Faris mengenai sosok Lia yang sebenarnya seperti apa. Dan berkat keterangan dari Hanindya, Faris jadi tahu garis besar kehidupan seorang Aprilia itu seperti apa.

"Kak Faris tidak ikut, Kak?" Pertanyaan itu membuyarkan senyuman Lia yang sempat terkembang tadi. Wajahnya sedikit murung sekarang.

"Ada apa Kak? Apa aku menyinggung perasaan Kakak?"

Lia tersenyum. Senyum yang tampak dipaksakan.

"Tidak apa-apa. Faris kemarin sakit, jadi tidak bisa ikut. Ini berkasnya juga dititipin ke Kakak."

Hanindya mengangguk tanda mengerti. Ia tahu Lia sangat dekat dengan pria itu, pria tampan yang menjadi idola baru di sekolah sejak beberapa bulan lalu. Tak ia pungkiri ia juga tertarik pada mantan kakak kelasnya itu.

"Begitu rupanya. Semoga dia cepat sembuh ya Kak."

"Iya, aamiin. Doakan aja."

***

Perasaan Lia terasa tak karuan hari ini. Dia merasa ada yang tidak beres. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Sejak Hanindya menanyakan Faris tadi siang, ia jadi gelisah. Lia berulangkali menghubungi pria itu. Ia sangat mengkhawatirkan Faris karena sejak kemarin, tidak terdengar kabar darinya lagi. Faris pingsan di halaman depan rumahnya kemarin. Wajahnya pucat sekali. Lia sempat menangis melihatnya dibopong dan ditandu ke rumah sakit.

Lia takut. Sangat takut. Beragam spekulasi dan pemikiran buruk menyambanginya. Lia takut terjadi sesuatu pada sahabatnya itu. Tidak biasanya ia pingsan. Apalagi di halaman rumahnya sendiri.

Akhirnya, ia memberanikan diri keluar rumah malam ini. Ia akan ke rumah sakit untuk memastikan kondisi Faris. Ia tak mau sahabatnya itu kenapa-napa.

Taksi yang ditumpangi Lia berhenti di depan sebuah rumah sakit elite yang megah berlantai lima. Di halaman rumah sakit puluhan mobil dan motor berjajar rapi. Setelah membayar ongkos taksi, Lia segera berjalan ke bagian administrasi untuk menanyakan ruang perawatan Faris.

RAPUH (EDISI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang