8

292 16 0
                                    

Keterbukaan satu sama lain adalah elemen penting dalam sebuah hubungan. Tak akan berjalan lancar suatu hubungan jika salah satunya selalu tertutup, menutup tabir yang seharusnya terbuka agar hubungan itu terjalin erat.

***

Setelah satu minggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Faris dapat menginjakkan kakinya kembali ke rumah kesayangannya. Rasanya seperti baru bangun dari tidur panjang. Dalam hati, Faris sangat bersyukur kepada Allah yang masih memberinya kesempatan untuk hidup di dunia ini. Dia jadi berpikir, apakah orang-orang yang memilih mati bunuh diri bisa tenang di alam sana? Bukankah mereka yang mati seperti itu akan menanggung beban yang lebih berat dari beban dunia?

Sungguh sangat disayangkan bagi mereka yang tidak menghargai hidup. Disaat orang lain berjuang mati-matian mempertahankan setiap helaan napas, mereka yang berputus asa memilih jalan pintas mengakhiri hidup dengan alasan penderitaan. Alasan yang sangat klise. Bukankah penderitaan bersumber dari diri mereka sendiri? Penderitaan yang mereka alami bukan takdir Tuhan, tapi imbas dari apa yang mereka perbuat dan mereka lakukan.

Faris menghela napas. Ia sangat berterima kasih kepada sang pendonor misterius yang telah menyelamatkan hidupnya. Kalau saja dalam tubuhnya tidak ada sumsum tulang belakang itu, mungkin saat ini ia masih berbaring lemah di ruang perawatan.

Salah satu hal yang mengganjal di hatinya adalah perubahan perilaku Lia saat kemarin-kemarin datang menjenguknya. Wajahnya begitu pucat tak berdarah. Seperti orang sakit. Tidak hanya itu, ada yang berubah dari dirinya. Faris melihat senyum yang dipaksakan di wajah pucat itu.

Apa Lia marah padanya? Tapi, kenapa?

Faris segera mengusir jauh-jauh pikiran buruk itu. Mungkin Lia sedang lelah saja. Faris tahu kegiatan Lia setelah mereka kuliah. Ia juga diberitahu ibunya kalau Lia yang meng-handle semua tugas legalisasi miliknya. Lia pasti cape. Dia pasti kelelahan.

"Kuharap semua akan baik-baik saja setelah ini." katanya ketika Lia menyuapinya di ruang keluarga. Ia sengaja tidak meminta Halimah menemaninya karena ia ingin menikmati waktu lebih lama bersama Lia.

"Tentu saja. Kau akan sembuh seperti sedia kala. Kau akan mendapatkan senyumanmu kembali." ujar Lia.

"Tapi aku belum merasa baik-baik saja."

Lia mengernyit. Diusapnya sisa bubur di mulut Faris dengan tissu.

"Kenapa?"

"Entahlah. Aku merasa hampa. Hatiku rasanya kosong. Aku tidak tahu kenapa. Aku merasa diriku seperti mayat hidup."

Lia menghela napas pelan. Piring bekas bubur Faris ia letakkan di meja.

"Jangan berkata seolah kau akan mati setelah ini. Kau harus sembuh. Dan itu harus. Kau tidak sepertiku. Kau punya badan yang jauh lebih sehat dan kuat. Kau sendiri yang mengatakan bahwa kita harus kuat dalam segala hal. Masa baru begini saja kau sudah mengomel seperti itu. Dasar payah!" ejek Lia sembari mengupas sebuah apel merah. Apel itu dipotongnya, lalu disuapkannya ke mulut Faris.

"Dasar manja!" katanya lagi.

"Tidak apa. Manja yang penting punya sahabat sebaik dirimu."

"Kau tahu, tingkahmu yang seperti ini malah membuat kita seperti sepasang kekasih." ujar Lia. Dia geli sendiri karena Faris akhir-akhir ini sering bertingkah manja padanya.

"Hm, benarkah? Kalau begitu kau jadi kekasihku saja." katanya enteng.

"Kau pikir aku mau? Aku tidak mau merusak hubungan orang. Dan kau tahu itu. Lagipula, kau sahabatku. Mana mungkin itu terjadi."

RAPUH (EDISI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang