Faris duduk termangu di koridor rumah sakit. Wajahnya harap-harap cemas. Ada ketakutan yang luar biasa kentara di sana. Ibunya Lia hanya terus menangis, dan sungguh, tangisannya terdengar menyakitkan sekali. Seakan-akan ini adalah akhir dari segalanya.
Rasa takut itu menjalar dari kepala ke ujung kaki, menyelami pembuluh darah dan bersemayam di sel-sel tubuhnya. Keringat dingin sudah membasahi baju pengantinnya. Ia benar-benar takut. Ia benar-benar khawatir terjadi sesuatu pada Lia.
Ini sudah satu jam lamanya. Tapi belum ada tanda-tanda kalau dokter akan keluar dari ruang pemeriksaan.
"Kenapa mereka lama sekali? Apa yang sebenarnya mereka lakukan?" Faris menggeram kesal. Tangannya terkepal kuat memukul dinding.
"Faris, kamu harus sabar! Kamu pikir hanya kamu saja yang khawatir? Saya juga, Faris! Anak saya sedang berjuang di dalam sana, tolong jangan semakin memperkeruh suasana!" sergah Ibunya Lia. Sedari tadi ia menahan kekesalannya pada Faris.
"Kalau bukan karena kamu, Lia tidak akan seperti ini! Lihat! Seharusnya hari ini ia berobat. Tapi apa? Demi melihat kamu bahagia, dia rela membatalkan jadwal pengobatannya. Tapi apa? Kamu malah semakin memperumit semuanya!"
Agaknya, Faris sedikit tersentak dengan pernyataan Ibunya Lia. Apa tadi ia bilang? Semua ini gara-gara dirinya? Faris bertanya pada dirinya sendiri, mungkinkah yang dikatakan Ibunya Lia itu benar?
"Maksud Tante apa?"
"Keluarga Nona Aprilia?" Seorang dokter kemudian keluar bersama tiga orang suster. Ibunya Lia spontan bangkit dan mengusap air matanya.
"Saya ibunya, Dok."
"Nona Aprilia masih tidak sadarkan diri. Dia masih kritis."
"Boleh saya masuk?"
"Tentu, silahkan, Nyonya."
"Tante, boleh Faris ikut?"
Ibunya Lia lalu menganggkat sebelah tangannya. Jangan dulu. Faris mengerti. Ia kembali ke posisinya semula. Diliriknya baju pengantinnya yang sudah penuh dengan darah Lia. Faris termenung kembali memikirkan pernyataan Ibunya Lia. Jika memang Lia harus berobat, separah apakah penyakit yang dialaminya? Mengapa Faris tak pernah tahu?
Di ruangan itu, Lia tengah terbujur kaku. Selang infusan menempel di tangan kanannya, selang oksigen menempel pada hidungnya. Wajah Lia terlihat pucat sekali tanpa darah. Ibunya duduk di samping putrinya. Membelai lembut wajah yang terpejam rapat itu. Air matanya tak berhenti mengalir, menyisakan duka yang serasa menusuk dada.
"Sudah ibu bilang, tapi kamu tidak mau dengar. Anak keras kepala. Lihat yang terjadi pada dirimu sekarang, Aprilia, lihat!" ibunya menangis lagi. Tapi yang diajak bicara tetap diam membisu. Tanpa tak ada pergerakan sedikitpun.
"Kamu terlalu mementingkan orang lain hingga dirimu sendiri tidak kau khawatirkan. Kamu tidak sendiri, Nak. Ada Ibu di sini." katanya lagi.
"Sudah saatnya dia tahu, sayang. Tidak baik menyimpan rahasia seorang diri seperti ini. Ibu ingin kamu tenang, sekalipun itu menyakitkan." Ibunya Lia lalu keluar dari ruangan itu. Di bangku rumah sakit, Faris masih setia menunggu.
"Bisa kita bicara sebentar, Faris?"
"Bagaimana keadaan Lia?"
"Bisa kita bicara sebentar? Lia masih dalam kondisi yang sama."
"Oh, tentu Tante. Maaf."
"Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."
"Apa itu, Tante? Apa tentang Lia?"
Ibunya Lia mengangguk.
"Pergilah ke rumahku. Ambil satu buku berwarna merah jambu di meja belajar kamar Lia."
"Untuk apa, Tante?"
"Kau akan tahu setelah kau membacanya. Pergilah!" perintahnya sambil menahan linangan air mata. Instingnya sebagai seorang ibu sangat kuat, ikut merasakan rasa sakit yang teramat dalam seperti yang dirasakan putrinya itu.
***
Faris menutup buku diary itu. Diary Lia. Ia menangis, di samping Lia yang terbujur kaku di pembaringan rumah sakit. Halimah menunggunya diluar bersama beberapa sahabat dan Ibunya Lia. Tadi ia datang beberapa jam setelah menyelesaikan urusan pembatalan pernikahan.
Faris merasa dia adalah laki-laki paling bodoh di dunia, karena membiarkan seorang wanita tersungkur ke dalam jurang penderitaan yang sangat dalam. Ia baru menyadari bahwa Lia melakukan semua itu sendirian.
Mengapa ia sebodoh ini? Mengapa ia tak pernah peka pada keadaan? Faris yakin bahwa perasaannya telah mati. Ia tak pernah menyadari kalau perhatian dan kasih sayang Lia padanya lebih dari sebatas sahabat. Apa yang membuatnya buta hingga tak pernah bisa membaca tanda yang ada pada diri Lia? Terlebih soal penyakitnya. Mengapa Faris tak pernah menyadari bahwa apa yang Lia alami lebih dari sekadar lemah fisik biasa? Entahlah. Faris merutuki kebodohannya sendiri.
Mata Lia perlahan terbuka. Sambil terbatuk-batuk ia berusaha bersuara. Mendengar suara batuk, spontan Faris menoleh. Seulas senyum terbit dari bibirnya, mengalahkan ribuan tetesan air mata yang telah ia keluarkan beberapa saat lalu. Gelora dalam dadanya terus bergema, melihat Lia sudah siuman.
"Kau di sini? Apa yang kau lakukan? Bagaimana dengan..." belum sempat menyelesaikan perkataanya, Faris menutup mulut Lia dengan jari telunjuknya.
"Apa yang kamu rasakan saat ini? Di mana rasa sakitnya?"
"Aku baik baik saja, Ris. Kau seharusnya menikah hari ini."
"Kamu masih sama seperti dulu. Aku merindukan senyumanmu itu."
"Kau mengalihkan pembicaraan. Katakan padaku, apa yang terjadi? Kenapa aku ada di sini?"
Faris menghela nafas panjang, menahan linangan air matanya.
"Kau pingsan di acara ijab qobulku. Hidungmu berdarah, wajahmu pucat. Kami panik dan segera membawamu ke sini. Katakan padaku, kenapa kau menyembunyikan semua ini dariku?"
"Kepalaku masih pusing. Apa maksud perkataanmu?"
Faris kemudian mencoba memberikan penjelasan sehalus mungkin, berusaha memahami kondisi Lia yang masih lemah.
"Kamu menderita kanker otak. Kamu membatalkan pengobatanmu ke Singapura hari ini untuk menghadiri pernikahanku. Kenapa kau melakukannya?"
Lia tersenyum. Manis sekali. Wajah pualamnya yang pucat pasi sedikit berseri.
"Aku ingin kau bahagia melihat sahabatmu yang rapuh ini menghadiri pernikahannya, itu saja." Jawabnya singkat. Dan jawaban Lia barusan berhasil membuat Faris meloloskan air matanya. Sebesar itukah hati Lia?
"Kau juga tak pernah mengatakan bahwa kau telah mendonorkan sumsum tulang belakangmu untukku. Katakan padaku, kenapa kau melakukannya?"
"Sudahlah. Kita manusia. Salah satu diantara kita akan mati. Kau atau aku yang lebih dulu. Aku...", ucapnya terbata-bata. Ibunya dan yang lain kemudian masuk.
"Kau mencintaiku."
"Biarlah cintaku mengalir dalam darahmu, dalam darah kalian semua...".
Suasana hening sesaat. Linangan air mata meleleh di setiap sudut mata. Lia memejamkam matanya kembali, meninggalkan seribu tanya yang belum sempat terlontarkan dan terjawab. Ibunya hanya bisa meratap. Kecil kemungkinan putrinya bisa sadar kembali.
"Kenapa Ya Allah? Kenapa?" racau Faris. Rasa bersalah dan penyesalan merasuki seluruh persendiannya. Halimah dan yang lainnya tak bisa menahan tangis. Tak ia sangka, gadis yang sempat membuatnya cemburu kini terbujur kaku dengan napas yang pelan, dengan harapan kecil untuk kembali siuman.
***
REVISI 21 NOVEMBER 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH (EDISI REVISI)
Fiksi RemajaTitik terapuh seorang Aprilia adalah saat Faris, sahabat yang terbaik yang telah merubah hidupnya berada dalam keadaan tidak baiK-baik saja. Aprilia, seorang gadis penderita kanker otak stadium akhir yang sehari-hari bergelut dengan obat, menjalani...