Jangan gunakan ketakutanmu sebagai kelemahanmu. Kau hanya bisa menganggap itu sebagai beban, bahkan di saat kau sudah tak lagi merasakannya.
***
Lia termenung di bangku balkon depan. Hari sudah senja. Pandangannya mengerling ke atas sana, menatap langit senja yang ditutupi lembayung jingga. Hari ini cuaca cerah, pikirnya dalam hati. Sebentar lagi bulan akan datang, dan bintang akan bersinar. Kebetulan angin senja juga terasa sangat lembut membelainya. Dia betah berlama-lama di situ, karena ia merasa penat dan lelah dengan rutinitasnya. Bahkan hingga berlarut malam, dia tak pernah beranjak dari posisinya. Ibunya bahkan sudah bosan memperingatkannya, bahwa angin malam tidak cukup bagus untuk kesehatannya.
"Jangan terlalu asyik sendiri malam-malam begini. Itu bisa mengganggu kesehatanmu, Sayang."
Dan dengarlah, panggilan "sayang" dari ibunya itu bahkan terdengar sangat menyakitkan bagi Lia. Tapi Lia selalu bersikap dingin, seolah tak peduli dengan apapun yang di katakan ibunya. Kecuali, pada saat-saat tertentu.
"Besok jadwal kamu berobat, Sayang," kata ibunya memperingatkan. Lia menghela napas.
"Bu, kapan semua ini berakhir? Lia bosan Bu. Setiap hari harus bergelut dengan berbagai macam obat."
"Sampai kamu benar-benar sembuh total," kata ibunya sembari mengajaknya masuk ke dalam kamar karena sudah waktunya untuk tidur.
"Mimpi indah, Anakku," gumam ibunya sebelum pergi meninggalkannya sendiri di kamar. Lia membalikkan tubuhnya hingga posisinya menyamping. Entah perasaan apa yang menghinggapinya sehingga ia menitikkan air mata.
"Seandainya mereka lengkap, mungkin aku akan merasa sempurna."
***
Alarm berdering membangunkan Lia dari alam mimpi. Perlahan ia membuka matanya. Setelah seluruh nyawanya terkumpul kembali, ia bergegas mandi. Kebetulan ini hari libur. Ia berencana untuk berolahraga pagi, meskipun ibunya sudah melarangnya. Terlihat olehnya, ibunya sedang menyapu halaman depan rumah. Memang, mereka tidak punya pembantu. Ibunya bilang, untuk apa mempekerjakan pembantu kalau seluruh pekerjaan rumah masih bisa dikerjakannya. Lagipula, saat ini ibunya sering punya waktu luang berada di rumah. Mungkin karena ibunya mengalihkan shift kerjanya yang biasanya pagi hari menjadi sore atau malam hari.
"Mereka siapa, Bu?" tanyanya sambil menunjuk dua mobil yang terparkir di depan rumah kosong depan rumah mereka. Seorang laki-laki berusia 40 an tampak membawa beberapa koper besar dari bagasi mobil.
"Tetangga baru. Mereka baru pindah dari Pekalongan."
"Oh begitu..."
"Ingat, jangan berolahraga yang berat. Ingat kesehatanmu!"
"Baik Bu."
Lia berjalan menyusuri taman seorang diri. Ia melihat sekeliling. Beberapa orang asyik mengobrol dengan teman mereka. Lia hanya melirik mereka iri. Wajahnya sedikit pucat. Mungkin karena kelelahan karena berlari pagi. Kepalanya terasa pening. Lia berusaha mencari pegangan. Dilihatnya sebuah kursi taman kosong. Dengan susah payah ia berusaha menggapainya. Menahan rasa sakit dan pening kepalanya. Akhirnya, ia berhasil duduk. Ia menyandarkan kepalanya ke kursi taman itu.
"Butuh bantuan?"
Lia menoleh. Seorang laki-laki tampak tersenyum sembari menawarkan sebotol air padanya.
"Terima kasih," ucap Lia lirih sambil menerima sebotol air itu. Peningnya semakin menjadi.
"Mau kuantar pulang?" ajak lelaki itu. Lia menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH (EDISI REVISI)
Teen FictionTitik terapuh seorang Aprilia adalah saat Faris, sahabat yang terbaik yang telah merubah hidupnya berada dalam keadaan tidak baiK-baik saja. Aprilia, seorang gadis penderita kanker otak stadium akhir yang sehari-hari bergelut dengan obat, menjalani...