Banyak orang bilang, cinta tak harus memiliki. Ia ada karena kepekaan hati kita, lalu pergi begitu saja. Karena datangnya pun tanpa undangan, maka ia akan meninggalkan kenangan.
Setelah berpikir dengan penuh pertimbangan, akhirnya Lia dapat mengambil sebuah keputusan besar yang mungkin akan berakibat fatal bagi kehidupannya. Tidak hanya itu, mungkin keputusan itu juga akan berakibat buruk bagi perasaan orang-orang di sekitarnya nanti. Tapi persetan dengan itu semua, Lia tetap tidak peduli. Toh dia tidak akan pernah menjumpai mereka lagi, mungkin.
Pada akhirnya, Lia memang memilih jalannya sendiri. Menyerah pada takdir dan mengorbankan kesempatannya hanya untuk melihat orang yang disayanginya tersenyum bahagia. Itu sudah cukup membuat Lia bahagia dan tenang.
Kemarin, Lia bertengkar hebat dengan batinnya sendiri. Dia hanya punya dua pilihan, mengorbankan hidupnya untuk melihat sahabatnya bahagia atau pergi dan menciptakan kecewa dan rasa benci. Itu pilihan sulit bagi Lia. Di satu sisi, dia ingin hidup lebih lama lagi. Dan di sisi lain, dia juga tidak ingin membuat orang yang disayanginya kecewa. Dan pilihan Lia jatuh pada opsi kedua.
Bukankah mati dengan tenang setelah melihat orang yang disayangi bahagia lebih menyenangkan ketimbang terus hidup tapi merasa hampa karena kecewa dan tak bisa bersama orang itu? Itulah yang ada di pikiran Lia. Kebahagiaan Faris lebih utama dibandingkan kebahagiaan dirinya. Apapun akan ia lakukan untuk membuat Faris bahagia, meski hatinya hancur sekalipun. Faris sudah banyak berjasa dalam hidupnya. Faris telah berhasil membuat Lia mendapatkan kembali arti kehidupan yang selama ini ia anggap mati.
"Mungkin, Tuhan tak menghendakiku untuk bisa menyebutmu dalam setiap helaan napasku. Takdir Tuhan tak mengizinkanku untuk mengganti statusmu menjadi milikku. Karena kau, hanya cukup menjadi sahabat yang tak akan pernah bisa kumiliki."
Sudah cukup dia membuat Faris bersedih kemarin, sekarang Lia tak ingin membuatnya bersedih lagi.
Hari ini, adalah hari pernikahan Faris dan Halimah.
Arunika bersinar sekejap mata. Ada seberkas sinar keemasan yang menyuluh dari sayap-sayap rapuh sang mentari. Di sudut jendela yang sejajar dengan posisi kamar Faris, Lia menjatuhkan pandangannya.
Dulu, ketika awal-awal bertemu, Lia selalu mengintip lewat kaca jendela, menyaksikan pemuda yang mengklaim diri sebagai sahabatnya itu bermain piano dan gitar, bernyanyi bersama gemintang yang menatapnya penuh suka. Kadang Lia pun ikut bernyanyi dalam diam.
Entah mendapat mimpi apa Lia semalam, hari ini wajahnya begitu cerah dan menawan. Dibalut busana kebaya biru muda khas Sunda yang tertutup, Lia berangkat bersama ibunya menuju rumah Halimah, tempat akad nikah akan dilangsungkan. Ibunya hanya bisa pasrah melihat Lia yang masih sembab matanya. Bukannya dia tidak mencegah Lia melakukan semua ini, tapi percuma saja karena dari kemarin Lia terus memaksanya untuk ikut mengantar Faris mengikat janji suci.
"Mungkin ini akan menjadi detik-detik terakhirku untuk bisa memandangmu sebagai orang paling berharga, karena kurang dari satu jam lagi kau akan menjadi manusia yang akan sulit kugapai." Gumaman-gumaman halus yang keluar dari bibirnya terbang seperti bisikan yang hilang terbawa angin.
Sekarang, dari tempatnya berada, Lia dapat dengan jelas melihat senyum simpul Faris yang tengah bahagia di samping Halimah. Duduk di kursi pelaminan sambil menunggu penghulu datang mengesahkan pernikahan mereka. Ada rasa sakit yang kentara terasa, tapi Lia sudah terlalu terbiasa dengan itu semua.
Beberapa menit kemudian, orang-orang masuk ke dalam sebuah ruangan tempat akad nikah akan dilangsungkan. Lia bersama ibunya juga turut masuk, ingin menyaksikan penyatuan dua insan manusia dalam tali suci pernikahan.
"Lia? Kau datang?" tanya Faris, dengan wajah yang sangat terkejut tentunya. Ia tak menyangka Lia mau datang. Faris pikir, Lia tidak mau memaafkannya.
"Setidaknya aku masih punya sisi kemanusiaanku, aku juga punya hati. Aku tidak mau sahabat-sahabatku kecewa dan menanggapku musuh mereka dengan tidak datang kemari," jelas Lia. Suaranya lemah dan serak, dengan ekspresi datar dan dingin. Faris tahu bahwa kalimat itu ditujukan untuk dirinya. Dan Faris cukup mengerti, dia tidak mau membicarakannya lagi dan membuat Lia semakin kecewa padanya.
Hatinya menjerit. Ingin sekali Lia berteriak dan mengatakan bahwa ia mecintai Faris. Tapi mustahil, karena ia akan menjadi perempuan terjahat dan terbodoh di dunia ini.
Sebentar lagi, Lia akan menyaksikan sahabatnya menjadi milik orang lain. Sebentar lagi, akan ada sebuah tabir yang membatasi hubungan mereka, yang tidak mungkin Lia robek. Sebentar lagi akan ada tembok besar dan tebal yang memisahkan Lia dengan Faris, dan Lia tidak akan bisa melewatinya. Lia masih waras, dia tidak boleh mengacaukan semuanya.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Muhammad Alfaris Mahendra bin Herman Wijayanto dengan putri kandung saya, Halimah Arrasyid binti Akhsan Armawan dengan maskawin seperangkat alat sholat dan emas empat puluh gram dibayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Halimah Arrasyid binti Akhsan Armawan dengan maskawin tersebut-"
Lia memejamkan matanya. Dia tidak ingin melihat itu semua. Lia tidak ingin menangis lagi. Kedua tangannya terulur menutupi kedua telinganya. Lia menunduk. Rasa sakit antara jiwa dan raganya bercampur satu.
"Ya Allah Lia!"
Tiba-tiba, sebuah jeritan menggema dan menghentikan prosesi ijab kabul sebelum Faris menyelesaikan kalimatnya. Semua orang lantas menoleh ke asal suara, dan mendapati Lia tengah terpejam dengan tubuh terkulai lemah di pangkuan ibunya. Darah merembes membasahi kebaya biru muda yang dikenakannya.
Suasana akad nikah yang seharusnya berjalan khidmat dan sakral itu berubah seratus delapan puluh derajat. Semua orang tampak panik dan bingung harus melakukan apa.
"Kenapa kalian diam saja? Cepat bawa dia ke rumah sakit!" Nada suara Faris terdengar marah. Dia kesal karena orang-orang bertingkah seperti orang bodoh. Ibunya Lia masih terus menangis sambil berusaha membersihkan darah yang terus keluar dari hidung Lia.
Tanpa dikomando, Faris beranjak dari duduknya dan memangku Lia, lalu membawanya ke mobil. Halimah mengikutinya dari belakang.
"Kita harus menolong Lia dulu. Kita tidak bisa berbahagia sementara sahabat kita terluka. Maafkan aku, bukan maksudku mengabaikan pernikahan ini. Tapi situasinya sangat genting sekarang."
Seakan mengerti, Halimah mengangguk. Dia juga sama paniknya dengan yang lain.
"Berhati-hatilah. Aku akan menyusul bersama yang lainnya."
Faris melajukan mobilnya, membelah kerumunan yang memanjang di sepanjang jalan. Hatinya hancur melihat Lia yang masih terbaring di pangkuan ibunya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Lia, Lia, dan Lia. Lia harus bangun. Lia harus bangun.
Jika Lia mati sekarang, apakah setelah ini mereka masih bisa mengenang tentang dirinya?
***
REVISI 5 OKTOBER 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH (EDISI REVISI)
Dla nastolatkówTitik terapuh seorang Aprilia adalah saat Faris, sahabat yang terbaik yang telah merubah hidupnya berada dalam keadaan tidak baiK-baik saja. Aprilia, seorang gadis penderita kanker otak stadium akhir yang sehari-hari bergelut dengan obat, menjalani...