14

617 20 0
                                    

Takdir manusia ada di tangan Tuhan. Tuhan sudah menggariskan takdir yang dijalani setiap manusia semenjak berada di alam rahim. Siapapun, kaya-miskin, cantik-jelek, laki-laki atau wanita, semuanya sama. Sama-sama makhluk Tuhan yang tak berdaya. Ketika Tuhan menetapkan takdir, manusia tidak bisa apa-apa selain berusaha.

Begitulah yang terjadi pada setiap kehidupan manusia. Bahagia dan sedih, senang atau terluka, selalu datang silih berganti. Tapi manusia tidak bisa menyalahkan takdir yang sudah digariskan kepadanya.

Sama seperti yang menimpa Faris sekarang ini. Berjalan pada garis takdir yang Tuhan berikan kepadanya, menjadi seorang sahabat sekaligus suami dari seorang perempuan lemah tapi berhati malaikat seperti Lia. Faris tak pernah berhenti berusaha agar istrinya itu bisa membuka matanya kembali. Dia tak pernah kehabisan cara untuk membawa Lia kembali ke dunia nyatanya. Semangatnya tak pernah padam meski setiap usahanya tak pernah membuahkan hasil.

Sudah sebulan ini Lia terbaring. Kondisinya masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Tak ada kemajuan, tapi juga tak menurun. Seperti jalan di tempat. Sampai kapan Lia akan terus menyiksanya dengan cara seperti ini?

Sebenarnya, tim dokter sudah menyarankan agar seluruh alat-alat penopang hidup Lia dilepaskan saja, toh tetap tidak ada kemajuan sedikitpun. Pihak keluarga juga setuju dan sudah ikhlas untuk melepaskan Lia. Karena menurut mereka, semua percuma saja. Lia tidak akan bangun, dan alat-alat penopang itu hanya akan menyiksa Lia jika terus berada di tubuhnya. Bagaimana mungkin Lia bisa pergi dengan tenang jika keluarganya masih berharap dengan hati terluka.

Tetapi, Faris bersikeras menolaknya. Baginya, tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain Lia sekarang. Ia bahkan sudah melupakan cintanya pada Halimah. Faris yakin bahwa suatu saat Lia akan membuka matanya, dan Faris ingin dia yang pertama kali dilihatnya. Dengan penuh kesabaran Faris terus menunggui Lia. Setiap hari, setiap waktu.

"Nak, ibu tahu ini berat untukmu dan untuk kami semua. Tapi membiarkan Lia terus seperti itu hanya akan menyiksanya, dia tidak akan pernah tenang, Nak. Kami sudah ikhlas, lepaskan dia, mungkin Allah punya rencana yang jauh lebih baik untuknya," ujar ayah Lia yang kini menjadi ayahnya juga. Faris menggeleng.

"Tidak, Pa. Faris nggak mau melepaskan Lia. Dia pasti bangun, Faris janji dia bakal membuka matanya, Faris mohon, jangan lakukan itu. Faris sendiri yang akan jagain Lia sampai dia sadar,"

Ayah Lia tidak bisa berbuat apa-apa. Menantunya memang keras kepala. Mau dibujuk sehalus apapun, Faris akan tetap bersikeras pada pendiriannya.

"Lia, kau dengar itu? Mereka bilang mereka sudah ikhlas untuk melepasmu. Tapi tidak, Lia! Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku bisa melepasmu semudah itu jika kamu pergi tanpa sepatah kata pun. Kau tega meninggalkan sahabat sebaik diriku dan suami setampan aku?" Faris tertawa hambar sambil berusaha menghibur dirinya.

"M.. Maksudmu ap..apa?" Faris tersentak mendengar suara lirih yang hampir menyerupai bisikan itu. Faris mendongak mencari asal suara itu. Matanya berbinar terang.

"Lia! Alhamdulillah.... Akhirnya kau sadar, terima kasih Ya Allah, terima kasih," ujarnya sambil tak henti-hentinya mencium kening Lia.

"Aku akan memanggil dokter."

Lia mencekal tangan Faris, menahan pria itu. Lia menggeleng lemah.

"Tidak usah, aku sudah sembuh."

Faris duduk kembali di samping Lia. Air matanya tak bisa di tahan lagi. Ia terharu karena Lia akhirnya membuka mata.

"Tadi kau bilang apa? Suami?" tanyanya dengan suara sangat lemah.

"Iya, aku suamimu Lia. Sahabatmu ini adalah suamimu."

RAPUH (EDISI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang