10

325 14 0
                                    

Euforia wisuda masih terasa hingga beberapa hari lamanya. Euforia itu seperti terpatri dalam diri, merasuk ke dalam relung jiwa. Bahagia dan bangga. Itulah kata yang dapat menafsirkan segalanya.

Hari ini adalah hari kepulangan Lia. Tiga hari yang lalu, tepatnya satu haru setelah wisuda Lia pergi ke Bandung menemui ayahnya. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin bertemu ayahnya. Mungkin Lia rindu karena beberapa bulan ini mereka tidak bertemu. Lia kembali ke rumahnya setelah kerinduannya terobati. Di Bandung, Lia dapat melepaskan sejenak rasa sakitnya.

Berada di sisi ayahnya adalah sebuah momen berharga yang langka ia alami. Usai perceraian itu, ayahnya sibuk dan terkadang tak punya waktu. Semua harinya tersita oleh pekerjaan. Meskipun begitu, ayahnya sama sekali tak pernah melupakannya. Jarak dan waktu tak akan bisa melonggarkan hubungan batin antara ia dengan sang ayah. Ayahnya adalah cinta pertamanya. Meski terkadang Lia meratap dan menangis karena kedua orang tuanya tak bisa menyatu lagi.

Setiap kali ia pergi ke Bandung, ayahnya selalu menyambutnya dengan hangat dan sayang. Biasanya ia akan langsung berlari dan memeluk Lia begitu netra matanya melihat sosok Lia dari kejauhan. Lalu ayahnya akan mengajaknya berjalan keliling kota, ke toko buku atau ke tempat wisata, meskipun sering terkendala karena kondisi kesehatannya yang kadang memburuk.

Usai menempuh perjalanan panjang, ia langsung merebahkan dirinya di ranjang. Diraihnya ransel hitam di sampingnya, lalu dibukanya. Tangannya tergerak mengambil sebuah miniatur Gedung Sate yang ia beli kemarin bersama ayahnya. Seulas senyum terbit di bibirnya.

Faris.

Laki-laki itu pernah bilang bahwa ia menyukai kota Bandung. Tak tahu kenapa, tapi ia selalu antusias setiap kali Lia menceritakan keseruannya berada di Kota Kembang itu. Faris bilang ia ingin pergi ke Gedung Sate, yang digunakan sebagai pusat pemerintahan provinsi Jawa Barat. Maka dari itulah, Lia sengaja membeli miniatur gedung impian Faris untuk ia hadiahkan.

Lia tersentak ketika melihat sebuah surat undangan merah muda tergeletak di meja belajarnya. Pada bagian depan undangan itu tertulis "Untuk sahabat terbaikku, Aprilia." Lia lalu merobek sampul plastik yang membungkus undangan itu. Segera ia buka undangan itu dan ia baca dengan teliti.

Sejurus kemudian Lia mematung. Ada bongkahan batu besar menghimpit dadanya. Ada dua mata pisau yang merobek-robek hatinya. Serasa ada api yang membakar matanya. Getaran hebat mengguncangkan tubuh ringkihnya.

Faris dan Halimah akan menikah.

Itu cukup menjadi bom atom yang meluluhlantakkan dunianya. Dunia yang serasa ada kini kosong kembali. Hancur, itulah yang ia rasakan. Air mata itu meleleh di pipi lembutnya, menetes membasahi undangan merah muda yang ia pegang erat. Tuhan, ini sakit sekali.

Lia tak menyangka bahwa hubungan Faris dengan Halimah ternyata sudah sejauh itu. Baik Faris maupun Halimah sama sekali tak pernah memberitahukan perihal itu. Dan dalam beberapa hari lagi, hubungan mereka akan sampai pada tahap tertinggi. Keduanya akan diikat dalam ikatan suci yang tak boleh ternodai. Lia pikir ia masih punya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya, namun keberaniannya selalu tenggelam bak ditelan bumi.

Karena yang memendam akan kalah dengan yang menyatakan.

Haruskah ia belari, memeluk Faris dari belakang lalu mengatakan segala perasaannya? Lantas apa tanggapan Faris nanti? Bukankah jika Faris memilihnya, ia akan jadi orang paling egois di dunia?

Jadilah hari kepulangannya dari Bandung itu hari paling menyedihkan dalam hidupnya.

***

"Kau sudah terima undangannya?" tanya Faris satu hari setelah Lia menerima undangan itu. Lia masih mematung.

RAPUH (EDISI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang