Apa yang akan kau lakukan ketika orang yang kau sayangi tiba-tiba pergi meninggalkan seribu tanya tanpa pernah mau kembali? Bukankah itu sangat menyakitkan bagimu? Apa yang akan kau lakukan ketika kau dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, di mana kau harus memilih antara meneruskan hidupmu dan bahagia dengan membiarkan orang lain terluka atau memilih menemani orang itu demi kelangsungan hidupnya dan mengorbankan bahagiamu?
Tidak setiap orang dapat mengambil keputusan dengan tepat. Terkadang, di satu sisi kedua pilihan itu justru membuat seorang manusia menjadi jahat, dan di sisi lain pilihan itu membuat seorang manusia juga tampak seperti malaikat. Manusia hanya bisa berusaha dan Tuhan yang menentukan hasil akhirnya.
Kegalauan dan dilema itu membuat Faris begitu kalut. Ketika ia tahu bahwa Lia sudah begitu banyak berkorban untuknya, ia hanya bisa bersedih. Apa yang bisa ia lakukan untuk membalas semua pengorbanan itu? Akankan ia berpaling begitu saja tanpa sepatah kata pun? Entahlah. Kegalauan itu terus menerus menyelimuti hatinya yang tengah hancur. Melihat Lia terbaring tak berdaya seperti ini membuat hatinya begitu sakit.
Sejak beberapa hari yang lalu setelah acara akad nikah yang gagal itu, Lia tidak pernah mau bangun lagi. Bahkan sekedar menggerakkan tangan tanda masih ada kehidupan di sana pun enggan ia tampakkan.
"Faris... Aku ingin berbicara sesuatu denganmu," Halimah berujar pelan. Matanya sembab. Bukan karena pernikahannya yang batal, tapi karena melihat Lia yang seperti mayat hidup dan kehancuran Faris yang begitu kentara.
Halimah membawa Faris ke taman belakang rumah sakit, meninggalkan Lia yang masih berada di alam bawah sadarnya sendirian. Mereka duduk di sebuah kursi panjang yang menghadap ke arah kolam. Udara sore hari cukup menenangkan.
"Faris, kau tahu kan semua pengorbanan yang sudah dilakukan Lia untukmu?" Faris mengangguk. Dia mengerti bahwa pembicaraan mereka cukup serius jika menyangkut masalah Lia.
"Aku tahu ini berat bagimu dan bagiku. Aku juga tahu kalau ini mungkin akan menyakitiku. Tapi melihat sahabatku sepert itu, aku tidak mau. Aku juga seorang wanita."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
Halimah menahan napasnya. Matanya sudah basah.
"Nikahi Lia..."
"Tapi..."
"Aku mohon, demi kesembuhan Lia..."
***
Mungkinkah seseorang yang sedang berada di alam bawah sadar dapat merasakan suatu kebahagiaan? Dapatkah ia mendengar raungan penuh sukacita dari orang-orang di sekitar yang tidak pernah berhenti memanggil namanya? Bisakah dia melihat betapa kebahagiaan kini tengah menyelimutinya dari jauh meskipun tak kasat mata?
Hari ini, Faris telah resmi menjadi miliknya. Di hadapan penghulu tadi, dan di hadapan dua orang dokter sebagai saksi, Faris menjabat tangan ayah Lia disaksikan keluarga dan beberapa temannya. Faris menikahi Lia atas permintaan Halimah, wanita itu merasa perlu bertanggung jawab dan seakan ikut merasakan berada di posisi Lia.
"Lia, apa kau akan terus seperti itu?" Faris bertanya pada tubuh yang kian hari kian kurus itu.
"Apa kau tidak kasihan padaku, lihat! Aku sekarang merasa kacau karenamu. Kau juga. Apa kau tidak kasihan pada dirimu yang semakin hari semakin kurus saja? Tidakkah kau kasihan pada ibumu, pada ayahmu, pada teman-teman kita? Mereka tak pernah berhenti menangisimu. Ayo, bangun. Jangan menjadi pemalas seperti itu. Kau pernah bilang bahwa kau baik-baik saja. Aku tahu kau ini wanita yang kuat. Maafkan aku, aku selalu menyusahkanmu. Bahkan aku juga tidak tahu kalau kau jauh lebih sakit dariku."
Hanya kebisuan yang melanda. Hanya suara denting alat EKG yang terus berbunyi, menandakan bahwa masih ada kehidupan di sana. Lia masih terpejam dalam diam. Selang oksigen kini berganti tidak hanya di hidung, tapi juga di sudut bibir Lia. Lia benar-benar sangat menyedihkan. Faris tak kuasa menahan tangisnya. Hatinya sakit melihat wanita yang baru menjadi istrinya itu tergolek lemah seperti bayi. Lebih sakit lagi jika membayangkan Lia meninggalkannya tanpa sepatah kata pun pernah terucap.
"Kalau kau bangun, aku akan mengajakmu ke luar negeri. Aku akan mengajakmu menikmati musim semi bersama sakura di Jepang, aku akan mengajakmu melihat indahnya menara Eiffel Paris saat malam hari, aku akan membawamu melihat betapa menyenangkannya dunia pendidikan di Finlandia, aku juga akan membawamu mencium tanah suci, mencium Ka'bah dan minum air zamzam. Bukankah kau selalu senang dan selalu berteriak girang setiap kali kita membicarakan itu semua? Lihat aku. Buka matamu, aku di sini, akan selalu di sini."
Faris membelai lembut tangan Lia. Mengusap wajah pucatnya, lalu mencium keningnya. Air matanya seakan telah mengering. Ia sengaja meminta keluarganya meninggalkan mereka berdua. Faris ingin bercerita banyak hal dengan Lia. Berharap mukjizat Tuhan datang padanya. Meskipun orang yang diajak bicara olehnya tidak akan merespon apapun. Bahkan mungkin mendengar pun tidak.
"Aku tidak pernah mengizinkanmu menjadi seperti ini Lia. Aku akan memarahimu karena kau sudah membuatku khawatir. Aku sangat kesepian Lia. Aku benar-benar merasa sendiri kalau kau terus seperti ini."
Faris menghentikkan aktivitasnya membelai rambut Lia. Kepalanya tertunduk dalam, bersandar pada sisi kanan pembaringan. Rasa frustasi dan pesimis memenuhi relung hatinya. Akankah Lia benar-benar tak akan pernah membuka matanya lagi?
"Kamu bilang kamu mencintaiku? Oh ya, maaf aku telah membaca seluruh rahasiamu. Hm, andai aku tahu, kamu mungkin tidak akan seperti ini. Aku terlalu bodoh, aku terlalu lemah sebagai laki-laki. Seharusnya aku menyadari rasamu padaku. Seharusnya aku bisa meraba hatimu. Untuk itu, izinkan aku untuk membalas cintamu. Bangunlah, Lia, aku ingin melihat senyum indah di wajahmu..."
Entah sudah berapa ribu kali Faris memanggil namanya, mengatakan bahwa ia mencintainya, dan memberikan keyakinan hidup bahagia bersama. Tapi hanya hening dan lelehan air mata yang ia dapatkan. Nihil. Lia masih belum mau membuka matanya. Lia masih betah berkelana di dunia mimpi indahnya.
Mungkin saat ini, Lia tengah berbahagia dengan seseorang di sana. Sehingga ia tak mau kembali ke dunia, membuka mata dan melihat bahwa sumber bahagia yang selama ini ia damba sudah ada dalam genggamannya. Seharusnya Lia bangun, ia harus melihat seseorang yang ia cintai menggenggam erat jemarinya, dan menangis hanya untuk kesembuhannya.
"Kenapa kamu betah sekali berlama-lama di dunia itu, sayang? Apa kamu tidak mau membangun rumah yang nanti akan kita tempati, lalu melahirkan buah hati yang menjadi permata kita nanti? Kamu bilang kamu ingin punya keluarga yang bahagia. Apa kamu menemukan seseorang yang jauh lebih bisa membahagiakanmu dibanding aku? Bangunlah, sayang. Aku mohon. Bangunlah."
Tuhan, berikan aku kesempatan untuk membahagiakannya, berikan aku kesempatan itu. Kumohon, berikanlah.
***
REVISI MEI 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
RAPUH (EDISI REVISI)
Teen FictionTitik terapuh seorang Aprilia adalah saat Faris, sahabat yang terbaik yang telah merubah hidupnya berada dalam keadaan tidak baiK-baik saja. Aprilia, seorang gadis penderita kanker otak stadium akhir yang sehari-hari bergelut dengan obat, menjalani...