3

480 22 2
                                    

Rasa sakit yang kau rasakan ketika patah hati tidak ada apa-apanya ketimbang rasa sakit yang kau dapat ketika dirimu berada di titik terendahmu tanpa ada seorang pun yang mengetahui dan memahaminya.

***

Lia pulang dari sekolah tepat pukul empat sore. Ia sengaja pulang lebih lambat dari biasanya. Toh jika ia pulang lebih awal pun, ia tidak akan menemukan siapapun di rumahnya. Hanya bunyi decitan mesin AC, kulkas, dan pengharum ruangan yang terdengar. Terkadang ia merasa sakit sendiri. Tinggal bersama ibu, tapi merasa tidak memiliki ibu. Hampir separuh waktunya digunakan untuk bekerja, dan hanya pulang ketika sudah larut atau sekadar memeriksa keadaan Lia yang kadang down dan semakin buruk.

Lia menghela napas lelah. Dibukanya knop pintu kamarnya. Dilemparkannya tas sekolah dengan kasar hingga beberapa bukunya ikut terlempar keluar. Ia sedang jengah sekali. Hari ini terasa sangat melelahkan dibandingkan hari biasanya. Entahlah. Ia merasa moodnya sedang hancur sekarang.

Lia merebahkan tubuh ringkihnya ke atas ranjang berukuran queensize kesayangannya. Ia menatap langit-langit lalu beralih pada boneka-boneka lucu yang berbaris rapi di samping ranjangnya.

"Kau tahu, hari ini terasa begitu melelahkan bagiku." Katanya sambil memainkan satu boneka panda besar yang ia beli dua tahun lalu.

"Lihat, bahkan aku tidak punya siapapun untuk berbagi keluh kesahku." Lia tertawa hambar.

"Menyedihkan, bukan? Aku sakit. Aku benar-benar sakit. Sampai kapan ini akan berakhir?" Lia terus bermonolog dengan dirinya sendiri. Kadang ia tertawa hambar, lalu menangis. Tertawa lagi, menangis lagi. Seperti orang gila. Ya, mungkin dia memang merasa gila.

Tak mengertikah, yang Lia butuhkan saat ini adalah seseorang yang bisa meredakan rasa sakitnya walau hanya dengan perkataan. Tak mengertikah bahwa sekarang Lia membutuhkan seseorang yang bisa ia jadikan sandaran dan tempat berkeluh kesah. Tak akan ada yang mengerti. Sekeras apapun ia berteriak sekarang, tetap tak akan ada yang mengerti. Dan itulah kenyataannya.

Lia beranjak menuju dapur. Ia ingin makan sesuatu untuk mengurangi rasa lelah dan frustasinya. Dibukanya pintu kulkas, lalu diambilnya sekotak susu coklat. Pandangannya teralih pada sebuah sticky notes merah jambu yang tergeletak di tengah meja makan.

"Sayang, hari ini ibu sepertinya tidak akan pulang. Ada banyak pekerjaan yang harus ibu selesaikan. Kau jangan khawatir, makanan sudah ibu siapkan. Kau hanya perlu menghangatkannya. Jaga dirimu baik-baik ya sayang."

Lia kembali tertawa hambar. Selalu seperti itu. Ibunya yang bekerja sebagai seorang perawat itu terbiasa menghabiskan hampir separuh waktunya di rumah sakit tempatnya bekerja. Hanya ada sedikit waktu tersedia untuk putri semata wayangnya.

Lia menghela napas lelah. Kepalanya terasa pusing. Semua benda-benda di sekitarnya terasa seperti komidi putar. Semakin kencang, semakin sakit. Lia menjambak rambutnya, lalu berteriak sekeras mungkin sambil menangis. Gelas susu yang ia pegang tadi sudah pecah tak berbentuk. Lia terus menangis. Bahkan di titik terendahnya seperti sekarang ini pun tidak ada satu orang pun yang tahu keadaannya. Bahkan ibunya sendiri.

"Ya Allah. Ini sakit sekali," racaunya tidak jelas sambil terus menangis. Jambakan rambutnya semakin kencang. Rasa sakit kepalanya semakin menjadi. Padahal ia sudah sering mengalaminya. Tapi rasa sakitnya seakan baru kali ini ia rasakan.

Akan seperti inikah kehidupannya kelak?

Lambat laun pandangannya mulai kabur. Samar-samar ia melihat seseorang tengah berlari ke arahnya sebelum ia benar-benar menutupkan kelopak matanya.

"Astaga Lia...."

***


Lia mengerjapkan matanya. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Rasa sakit kepalanya masih bersisa. Ia memandang sekeliling. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Lalu yang tadi itu apa? Apa ia tertidur dan bermimpi buruk?

RAPUH (EDISI REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang