Sebening Putih || 11

99 8 4
                                    

Reza bersumpah dan berjanji kepada dirinya bahwa dia tidak akan lagi bergabung dengan Putih. Tidak akan lagi, ia berjanji pada dirinya sendiri.

Wajah Reza sudah pucat, terlihat seperti sedang menahan isi perutnya yang mendesak keluar. Reza tidak tahan lagi, rasanya nyawanya akan melayang saat ini juga.

Berbeda dengan perempuan yang sedang mengendarai mobilnya sekarang. Hanan tengah membawa mobil Reza dengan brutal dan dengan kecepatan yang sangat cepat. Bukan apa-apa, katanya dia ingin mengalahkan Putih dalam balap.

"Reza ini asik banget! Mobil lo juga oke! Lo ada niat jual? Gue beli mobil lo," kata Hanan dengan wajah yang sangat ceria.

Reza menatap Hanan dengan horor. Ia ingin menjawab, tapi tidak bisa. Jika ia berbicara maka sudah dipastikan apa yang ditahannya sekarang akan keluar berserakan di mobil kesayangannya itu. Reza akan menangis jika terjadi apa-apa pada mobilnya.

Tangan Reza dengan kuat memegang pegangan hingga jari-jarinya kian memutih. Hanan semakin kencang saja membawa mobil karena hampir saja Putih berhasil menyalip. Fix, hari ini Reza tinggal nama saja.

"Gue gak ngerti kenapa lo mau sama Putih sampai rela kek gini sih. Tapi asal lo tau aja, Putih sebenarnya tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Dia orang yang baik," celetuk Hanan di tengah balapannya. Reza tercenung mendengar celetukan Hanan. Ia sedikit kagum karena kata-kata Hanan.

Tiba-tiba mobil Putih menghilang dari kaca spion mobil Reza. Hanan berpikir bahwa Putih sudah tertinggal sangat jauh darinya, tetapi ketika mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju, Putih malah sudah turun seolah sedang menunggu kedatangan Hanan dengan seringai yang paling menyebalkan.

"Sialan!"

"Wueeeek!" Reza pun akhirnya dapat muntah dengan lega.

Putih dan Hanan hanya bisa menatap dengan jijik.

***

"Jadi lo udah ngerebut jabatannya kak Sandjaya?"

Sagi tertawa, lalu tersenyum dengan bangga. "Iya, gue ngerebut posisi Sandjaya. Abis gue pengen banget jadi ketos kan. Kalau nggak gitu, gak ketemu dong kita."

Anin hanya tersenyum ketika mendengar perkataan Sagi barusan. Ia menyilangkan tangannya di punggung seraya berjalan dengan mata yang sibuk memandang ke segala arah, kecuali ke mata Sagi tentu saja.

Akhirnya Sagi sampai di depan kelas Anin. Anin mengintip ke dalam kelas yang untungnya belum dimasuki oleh guru yang mengajar. Sagi juga ikut mengintip, lalu kembali bertatapan dengan tatapan teduh milik Anin. Berjalan bersama Anin seperti tadi sudah cukup untuk Sagi mengenal bagaimana perawakan gadis itu. Walaupun Sagi yakin pasti ada sosok lain Anin yang belum diperlihatkan oleh perempuan itu. Namun sejauh ini, Anin adalah perempuan yang cukup manis.

"Makasih ya kak udah nganterin gue ke kelas," kata Anin seraya mengenyampingkan rambutnya yang menutupi setengah wajah.

Sagi mengangguk, lalu mengacak rambut Anin dengan lembut. Kemudian ia membantu mengenyampingkan rambut perempuan itu agar tidak terlalu berantakan. Anin menahan napas ketika Sagi melakukannya.

"Masuk gih, ntar gurunya masuk," ujar Sagi.

Anin menatap Sagi sejenak, kemudian ia masuk ke dalam kelas. Sagi yang melihat itu tersenyum, kemudian berbalik untuk kembali ke kelasnya juga. Sagi tersenyum karena ia yakin ia pasti akan memenangkan taruhan tersebut. Di pikirannya telah berputar-putar bayangan mobil terbaru milik Anto. Akan sangat menyenangkan melihat Anto menangis sedih memberikan mobilnya itu, walaupun Sagi yakin kalau laki-laki itu sanggup membeli mobil seperti itu lagi.

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang