Sebening Putih || 44

60 8 2
                                    

Putih memarkirkan mobilnya di perkarangan rumah bapak. Putih turun dari mobil lengkap dengan hoodie putih yang tersampir di bahunya. Putih menatap datar ke arah mobil bapak yang terparkir di depan mobilnya, untuk sesaat perhatiannya tersita sampai sambutan dari mbak yang kerja di rumah menyambutnya dan menyuruhnya segera masuk ke dalam rumah.

Seperti biasa keadaan rumah itu sepi seperti tidak berpenghuni karena semuanya memilij berada di dalam kamar saja. Benar-benar tidak ada kehangatan di keluarga ini sampai rasanya Putih sangat tidak betah untuk berlama-lama. Putih berjalan menaiki tangga untuk pergi ke ruangan kerja bapak. Sesampainya di depan pintu, dia mengetuk pintu, lalu langsung saja masuk tanpa harus susah-susah mengeluarkan suara.

Pandangan bapak yang awalnya terfokus pada layar laptop sekarang berpindah kepada anaknya. Segera bapak menutup laptopnya, memandang Putih dengan wajah sama datar menunggu Putih untuk duduk di depannya. Bapak membuka kacamatanya dan meletakkannya di atas laptop. Sementara itu, Putih tidak memilih betah dengan keterdiamannya, menunggu bapak yang mulai berbicara duluan.

"Perusahaan, kamu yang meneruskan."

"Tidak mau. Keyla aja yang lanjutkan."

"Ga bisa, kamu masih hidup. Tidak semudah itu."

Putih tersenyum miring, ia ingin tertawa sekarang. "Kalau gitu, aku harus mati dulu?"

"Putih!" Bapak membentak, ia terlihat sangat marah.

"Putih akan memegang perusahaan, tapi tidak sebagai anak bapak. Tapi sebagai Putih sendiri. Nanti beberapa tahun yang akan datang Putih akan beli perusahaan bapak."

***

"Put!"

Putih menoleh, ia baru saja memarkirkan mobilnya di parkiran. senyum Putih terbit saat Reza datang menghampirinya dengan senyum lebar laki-laki itu.

"Nih, punya lo." Reza langsung mengedepankan tas ranselnya, lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Ternyata itu adalah oleh-oleh khas Surabaya yang dimintanya kemaren.

Putih buru-buru mengambil kotak itu, senyumnya benar-benar lebar sampai rasanya tertular ke Reza. Setelah menatap kue itu untuk beberapa saat, Putih pun memasukkannya ke dalam tasnya. "Makasih loh."

Kemudian mereka berdua berjalan bersama. "Liat deh ntar waktu upacara gue bakal maju."

"Iya gue tau, ga usah dibilang. Bangga banget yang harapan satu."

"Ya jelas lah! Harus!"

Putih menoyor kepala laki-laki itu spontan. "Ga usah kelewatan gitu semangatnya."

Reza tersenyum kecil.

Kedekatan dua sejoli itu memancing rumor-rumor lain yang sepertinya begitu asik dijadikan bahan gosipan siswi-siswi di sekolahnya. Banyak teori yang bertebaran mengatakan bahwa Putih sedang move on dari Sagi karena laki-laki itu sekarang bersama Anin. Buktinya Putih lebih sering terlihat bersama Reza dibanding bersama Sagi.

Putih tersenyum kecil di antara barisan upacara saat melihat Reza sedang menerima penghargaan harapan satunya di lomba musik nasional. Laki-laki itu terlihat sangat senang sampai matanya jadi sipit karena saking lebarnya senyumnya. Putih mengangguk kecil kepada laki-laki itu sebagai tanda selamatnya atas kemenangan Reza.

Selesainya Reza mendapatkan penghargaan dari sekolah, maka selesai pula upacara benderanya pada pagi hari ini. Laki-laki itu kembali menghampiri Putih ketika melihat Putih masih berada di lapangan. Laki-laki itu langsung memberikan cengirannya kepada Putih.

"Kantin?" ajak Reza mengundang rasa heran yang muncul pada Putih. Kebetulan karena hari pertama ujian jatuh pada hari Rabu, kelas-kelas jadi banyak free karena guru jadi banyak rapat untuk mempersiapkan ujian semester sebaik mungkin.

"Tumben banget?"

Reza tersenyum lagi, "Gue mau traktir lo."

"Buat?"

"Ya, mau aja.

Setelah menimbang, akhirnya Putih mengangguk setuju dengan ajakan Reza. Sesampai di kantin Putih seperti biasa langsung ke kedai pak Ujang untuk memesan nasi goreng, berbeda dengan Reza yang memilih untuk makan bubur saja pagi ini. Entah bagaimana mereka sampai ke meja secara bersamaan padahal mereka dari kedai yang berbeda. Menyadari kebetulan itu, tawa mereka keluar, lalu duduk di kursi mereka masing-masing.

"Makan bubur udah kayak anak bayi aja lo."

"Lo ga doyan?"

Putih menggelengkan kepalanya.

"Lo harus coba dulu bubur gue, baru bisa ngeledek." Reza mengambil sendok baru, menyendokkan bubur tersebut untuk diberikan kepada Putih. "Ini cobain."

Putih bergidik, perutnya terasa bergejolak. "Enggak mau, buburnya kayak muntahan anjing."

"Dari mana datang muntahan anjingnya sih? Cobain dulu, baru ngomong."

Putih memandang sendok itu ragu, tapi ekspresi Reza yang mengatakan seolah semuanya akan baik-baik saja membuat Putih merasa sedikit tertarik untuk mencoba. Akhirnya setelah banyak menolak, Putih mengambil sendok itu dengan gerakan pelan. Sebelum sendok itu benar-benar masuk ke dalam mulutnya, Putih kembali memastikan bubur tersebut. "Za, gaada kacang kan?"

Reza menggelengkan kepalanya. "Gue juga ga suka kacang."

"Kenapa?"

"Trauma makan kacang. Waktu kecil gue kesedak makan itu." Reza menertawai kebodohannya sendiri.

Putih juga ikut tertawa. Setelah dirasa yakin, Putih pun memasukkan buburnya ke dalam mulut. Ia memejamkan matanya karena takut ia akan mual. Namun setelah bubur itu sampai pada indra perasanya, Putih membuka matanya lalu mengangguk-angguk. "Enak."

"Iya kan?"

Lalu mereka berdua tertawa.

***

Putih akhirnya menjelaskan semuanya kepada keempat sahabatnya. Tidak sesekali Putih memukul Rabka karena laki-laki itu menyampaikan maksud kata-katanya menjadi terdengar seperti untuk sesuatu yang lain. Dengan sabar Putih menceritakan, membenarkan, dan mengklarifikasi. Tiga kata itu sudah cukup menjelaskan apa yang terjadi saat ini.

"Ini masalah gue. Gue ga larang kalian pacaran. Kalian tolol semua."

Rabka menunduk, berbeda dengan Hanan yang tertawa. Semuanya jadi merasa bersalah kepada Putih karena sudah menduga yang tidak-tidak, terlepas dengan kenyataan entah apa yang dikatakan perempuan itu benar atau tidak benar dari hatinya. Namun jika Putih ingin mereka memahaminya dengan kata baik-baik saja, maka tidak ada pilihan lain untuk Rabka, Hanan, Kaka, dan Sagi untuk menuruti.

"Put, gue harus ngomong sesuatu."

Putih menoleh ke Sagi, ia memandang Sagi keheranan sama dengan tiga lainnya.

"Gue emang cinta sama lo, Put. Sampai sekarang. Tapi ya, mungkin gue nemuin perasaan cinta yang lebih ke orang lain. Gue minta maaf."

Putih tertawa kecil. "Buat apa minta maaf? Gue sayang sama lo, Sagi. Lo keluarga gue."

Gue ngerti, Gi. Setiap orang pun memiliki batas untuk mencintai. Gue tau pasti terlalu lelah untuk mengejar gue. Lo terlalu lelah untuk mencintai orang yang tidak percaya kata cinta itu sendiri.

Putih tersenyum lebar kepada Sagi.

Hari ini Putih akui dia banyak tersenyum, mungkin karena sesuatu di dalam dirinya merasa lega? Atau sesuatu di dalam dalam diri perempuan sudah bisa menerima atau pasrah? Putih tidak yakin. Yang terpenting adalah ia merasa senang dengan segala yang terjadi hari ini. Dari pertemuannya dengan Reza, kantin, bubur, sampai dengan dirinya yang merasa sudah menyelesaikan masalah. Kenapa Putih yakin ia merasa sudah menyelesaikan masalah, jawabannya adalah karena di matanya sekarang semua orang terlihat bahagia.

Tbc.

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang