Sebening Putih || 12

126 6 5
                                    

"Kita mau kemana kak?" tanya Anin ketika ia sudah berada di mobil Sagi. Ia bertanya seraya matanya sibuk berkelana ke jalanan, mungkin perempuan itu takut diapa-apakan oleh Sagi. Yang namanya laki-laki, sebaik apapun nafsu mereka sama saja membahayakan.

Sagi tersenyum, lalu sedikit menoleh ke arah Anin. "Tenang aja, gue gak akan bawa lo ke tempat yang aneh-aneh kok. Gue gak bakal apa-apain lo," ujar Sagi dengan nada bercanda. Wajah Anin bersemu ketika laki-laki di sampingnya tau apa yang sedang bercokol di kepalanya.

Mimpi apa Anin semalam sampai bisa berada di dalam atmosfer yang sama dengan laki-laki populer di sampingnya? Anin benar-benar tidak pernah terpikir untuk bisa sedekat ini dengan Sagi. Baginya Sagi terlalu sulit untuk dijangkau.

"Lo kenapa bisa suka sama gue?"

"Apa?" Serangan Jantung, itu yang dirasakan oleh Anin sekarang. Anin langsung memegangi dadanya. Jantungnya benar-benar sedang tidak aman sekarang.

Sagi tertawa. Pas sekali di jalanan sedang lampu merah. Menggunakan kesempatan itu, Sagi mengarahkan tubuhnya ke arah Anin. Laki-laki itu kemudian mendekatkan wajahnya kepada Anin. Demi apapun, baru pertama kali Anin melihat senyuman yang semenawan senyuman Sagi. Anin begitu terpesona.

"Anin ku sayang, kenapa lo bisa suka sama gue?" tanya Sagi lagi.

Rasanya Anin ingin melompat sekarang juga dari mobil Sagi. Anin menutup matanya, ia tidak berani menatap wajah Sagi.

TIIIT TIIIT TIIIT...

Anin seketika membuka mata ketika mendengar bunyi klakson mobil yang keras. Ia menoleh dan menemukan Sagi yang terfokus pada jalanan. Sagi menyadarinya. "Hey! Lo sudah bangun. Capek banget ya?"

Apa? Apa tadi Anin hanya bermimpi?

"Hey? Lo gak papa kan? Kok kayak kebingungan gitu?" tanya Sagi. Anin tidak berkata-kata. Bangun-bangun perempuan itu hanya terdiam kemudian termenung. Hal yang sangat aneh bagi Sagi. Apa jangan-jangan Anin baru merasa menyesal karena ikut dengannya? Sagi jadi merasa tidak enak.

"Nin?"

"Eh iya kak? Maaf gue abis mimpi, jadi agak ngerasa..." Anin tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Anin jadi merasa malu saat ia kembali mengingat apa yang baru saja terjadi di mimpinya. Wajahnya tidak berhenti bersemu merah. Sangat menggemaskan.

"Lo mimpi di siang bolong gini?" Sagi kembali tertawa. Anin menunduk malu. "Lo perempuan yang lucu, Nin. Liat aja sekarang, lo lucu ya kalau lagi malu gitu"

Anin tidak tahan, ia langsung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Jangan liat gue kak, gue malu banget," kata Anin malah membuat Sagi semakin tertawa. Kemudian Anin merasa terperanjat ketika sebuah tangan megusap kepalanya dengan lembut. Dengan pelan Anin melepaskan tangannya dari wajahnya.

Sagi sedang mengusap kepalanya dengan sangat lembut. Astaga!

"Lo lagi mimpiin yang nggak-nggak ya?"

"Nggak kok! Gue gak mimpi yang seperti itu," bela Anin dengan wajah yang seperti kepiting rebus.

"Terus mimpi apa?" tanya Sagi lagi.

Anin menoleh sekilas, kemudian kembali menunduk. Mana mungkin dia memberitahu Sagi tentang mimpinya yang jelas-jelas tentang laki-laki itu. Bisa gawat, Anin baru saja merasa dekat dengan Sagi dan dia tidak mau merasa jauh lagi. Ia benar-benar menyukai Sagi sepertinya.

"Gue mimpiin seseorang yang gue suka," kata perempuan itu pada akhirnya. Anin kembali membayangkan mimpinya tadi, tak urung membuar dirinya tersenyum. "Dia nyatain perasannya ke gue. Yang jelas di mimpi itu cinta gue gak bertepuk sebelah tangan."

Sagi yang sedang berfokus dengan jalanan itu sesekali mencuri pandang ke arah perempuan di sampingnya. Seringai laki-laki itu terlihat. "Ternyata perempuan di sebelah gue sudah jatuh cinta dengan orang lain."

Anin menoleh, kemudian kembali tersenyum. Ia tidak lagi memperhatikan Sagi, ia sekarang memperhatikan jalanan yang begitu sibuk. Bukan karena apa-apa, hanya saja Anin butuh waktu menenangkan jantung dan hatinya.

"Ngomong-ngomong lo tadi sebut cinta, sepertinya lo sudah menyukai laki-laki itu sudah cukup lama ya?" tanya Sagi lagi.

"Ya, nggak juga sih kak. Mungkin kalau dibilang kami baru aja dekat?" kata Anin lagi membuat Sagi merasa aneh. Sagi termasuk ke dalam golongan laki-laki yang sangat peka sehingga dia tahu betul siapa yang sedang diceritakan oleh Anin. Mungkin karena efek dirinya yang sangat playboy, Sagi jadi tahu tipikal-tipikal perempuan yang sedang suka seperti Anin sekarang ini. Jujur saja, Sagi merasa sangat terganggu dengan orang-orang yang dengan mudah mengatakan bahwa dia cinta padahal mereka baru saja mengenal. Bagi Sagi itu seperti perasaan yang dibuat-buat.

"kenapa lo diam kak? Ada yang salah ya dengan kata-kata gue?" tanya Anin tiba-tiba perempuan itu merasa tidak enak.

"Gue merasa lo terlalu naif Nin. Sama seperti perempuan di luar sana," kata Sagi, ia tidak tahan untuk mengeluarkan isi pikirannya. Anin pada awalnya tidak mengerti, tapi setelah ia perhatikan Sagi cukup lama, akhirnya ia mengerti. Ternyata Sagi memang laki-laki yang sangat sulit untuk diraih.

"Gue mengerti maksud lo kak." Sagi menoleh sekilas. "Mungkin terlalu cepat untuk gue mengatakan cinta padahal baru dekat. Itu kan maksud lo?"

"Apa gue menyinggung lo?"

"Nggak kok kak. Maksud lo ada benarnya, tapi bagi gue itu berbeda. Ini pertama kalinya buat gue untuk memiliki perasaan kepada seseorang. Walaupun kata cinta belum tepat untuk mendeskripsikan perasaan yang gue miliki sekarang, tapi ntah kenapa gue merasa senang ketika perasaan yang gue rasakan sekarang adalah cinta. Setidaknya bagi gue yang baru pertama kali merasa seperti ini, dengan menyebut cinta begini bisa menunjukkan ke orang-orang kalau ya, gue serius sama laki-laki itu. Gue tidak mau memiliki banyak laki-laki untuk gue sukai. Satu saja sudah sangat cukup buat gue kak." Anin tidak berhenti tersenyum ketika mendengarkan kalimat Anin. Penjelasan seperti itu adalah penjelasan yang sangat baru untuk Sagi.

"Ternyata lo benar-benar perempuan yang naif ya Nin."

"Tidak apa-apa kalau menurut lo seperti itu kak." Anin kembali tersenyum.

Sagi membalas senyuman itu dengan singkat. Ia merasa tidak enak. Perempuan itu terlalu polos untuk Sagi jadikan barang taruhan, Sagi jadi tidak tega.

"Nin" panggil Sagi membuat perempuan di sampingnya menoleh. "Ya kak?"

Menatap mata polos perempuan itu, sial Sagi jadi tidak tega sekali. "Gue harap laki-laki yang lo suka itu bukan laki-laki seperti gue ya."

"Kenapa Kak?" tanya perempuan itu lagi.

Lagi-lagi Sagi kembali merutuki dirinya sendiri. Kenapa harus perempuan seperti ini sih yang harus jadi mainannya? Berkali-kali Sagi mengucapkan kalimat yang sama.

Karena Sagi tidak tahu harus mengeluarkan kata-kata seperti apa. Sekali lagi Sagi menatap mata polos perempuan itu untuk meyakinkan hatinya untuk memberi nasihat. Karena bisa saja setelah ini Anin jadi benar-benar menjauh darinya dan dia akan kalah taruhan. Sagi akui, Sagi tahu bahwa perempuan di depannya ini menyukai dirinya. Perempuan di depannya ini terlalu polos sehingga tanpa sadar perempuan itu dengan mudahnya memperlihatkan rasa sukanya tanpa perempuan itu sendiri sadari.

Sagi akhirnya menghela napas. Ya, dia harus lakukan, Sagi benar-benar tidak tega. "Karena laki-laki seperti gue adalah laki-laki brengsek yang satu perempuan saja tidak cukup baginya. Lo menganggap satu laki-laki saja sudah cukup untuk diri lo, jadi lo juga harus memiliki laki-laki yang memiliki prinsip yang sama. Lo pantas mendapatkan laki-laki yang baik" kata Sagi. Laki-laki itu mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman.

Anin hanya bisa tersenyum sendu mendengar kalimat Sagi. Sagi tahu dan mengerti sekali dengan reaksi dari Anin. Tidak ada perempuan yang baik-baik saja setelah mendengar kalimat penolakan halus dari laki-laki yang disukai.

"Lo tau ya ternyata Kak? Maafkan gue kalau lo merasa terganggu dengan gue." Tidak hanya Sagi, ternyata Anin juga tahu.

"Bu-bukan begitu maksud gue..."

"Gak papa kak, gue akan membuat lo jadi laki-laki yang memiliki prinsip itu." perempuan itu tersenyum.

Sagi tidak bisa berkata-kata.

Tbc.

Sebening PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang